Hubungan spiritualitas dan agama memang tidak dapat dinafikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kisah-kisah perjalanan spiritual para Nabi, pemimpin agama, dan tokoh agama yang menginspirasi. Sebut saja kisah Nabi Ibrahim AS dalam pencarian Tuhan, Nabi Muhammad SAW saat menerima wahyu pertama kali di gua Hira, atau petualangan Sidharta Gautama dalam agama Budha untuk mencari Tuhan dan kebenaran sejati. Di kalangan umat Kristen ada kisah perjalanan spiritual Yesus Kristus. Dan pasti, dalam agama Hindu ada banyak kisah pencarian spiritual sebagai rujukan umat Hindu sendiri dan umat lain. Semua kisah itu tidak dapat dilepaskan dari agama.
Ramadhan bagi umat Islam merupakan instrumen yang diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada umat Islam yang menjembatani perjalanan spiritualitas. Banyak praktek keagamaan dalam Ramadhan yang menjanjikan kehidupan spiritual yang lebih baik.
Memperbanyak ibadah dan bermunajat
Banyak ibadah dalam Ramadhan yang menjanjikan kehidupan spiritual yang lebih baik. Maka hal mendasar dalam menjalankan ibadah puasa adalah menjaga niat dan keikhlasan, dan--bagi umat Islam--semata-mata karena Allah SWT. Tidak ada yang lain. Setiap ibadah yang dilakukan harus didasari oleh niat yang tulus. Hal ini diharapkan dapat akan menjauhkan seseorang dari sifat flexing.
Shalat tarawih dan tadarrus merupakan dua ibadah yang paling populer. Lalu ada anjuran untuk bermunajat--doa yang dipanjatkan dengan sepenuh hati, bertujuan mengharapkan keridlaan, memohon ampunan dan meminta bantuan kepada Allah Swt agar diberikan solusi dan jalan keluar bagi permasalahan yang sedang dialami.
Rajin bermunajat merupakan salah satu ibadah sebagai jalan menuju titik spiritualitas. Munajat bukan sekadar memanjatkan zikir dan doa atau shalat malam. Dalam doa-doa munajat kita mestinya merenungi kesalahan dan bertaubat atas setiap kekeliruan yang pernah diperbuat.
Munajat seyogyanya disertai juga dengan proses refleksi atas makna keberadaan kita sebagai manusia, tentang tujuan hidup kita di dunia dan setelah kematian. Atau mengajukan pertanyaan tentang makna keberadaan kita bagi orang lain dan hamparan semesta. Apakah kita selama ini memberikan sesuatu yang berarti bagi sesama. Ataukah kita terlalu asyik dengan diri semdiri.
Memperbaiki hubungan sosial
Dalam interaksi sosial, hal penting lainnya dalam menjalani ibadah puasa adalah menjaga lisan dan perilaku sosial. Ini juga bagian dari upaya meningkatkan spiritualitas dalam menjalankan ibadah puasa. Dalam sebuah hadist Nabi SAW pernah berpesan, banyak umat Islam berpuasa tetapi tidak mendapatkan hikmah apapun karena tidak dapat mengendalikan lisannya. Berpuasa tetapi menggunjing orang lain, mengadu domba, dan menipu.
Di era digital dewasa ini, komunikasi lisan telah mengalami transformasi ke dalam lingkaran media sosial. Lisan kita telah mungkin tidak menggunjing tetapi jemari bisa saja begitu ringan mengunggah dan membagikan berita palsu, bertingkah aneh di depan kamera yang menimbulkan ketidaknyamanan pada banyak orang.
Salah satu fungsi ibadah adalah memperbaiki hubungan sosial. Ibadah seharusnya dapat membentuk harmoni dalam kehidupan kolektif. Shalat berjamaah, misalnya, tidak sekedar melipatgandakan pahala tetapi juga diharapkan dapat berdampak kepada kualitas hubungan kita dengan sesama.
Meningkatkan empati
Empati merupakan sifat dasar manusia yang perlu terus dibangun dalam kehidupan bersama. Ramadhan tidak belaka tentang kemampuan kita menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, rasa lapar dan dahaga yang dirasakan saat puasa seharusnya dapat menumbuhkan empati kepada mereka yang kerap merasakan hal serupa.
Maka Nabi sangat menganjurkan untuk memperbanyak berbagi melalui infaq dan sadaqah. Tidak saja menganjurkan tetapi beliau mempraktekkannya dalam tindakan nyata dengan lebih banyak bersedekah saat Ramadhan. Kewajiban mengeluarkan zakat fitrah selama ramadhan mengandaikan bahwa kita memiliki kewajiban untuk berempati, peduli terhadap sesama.