Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Smartphone Afkir dan Petualangan di Kompasiana

2 Maret 2024   09:58 Diperbarui: 2 Maret 2024   11:24 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Smartphone (Sumber Freepik)

Smartphone yang saya pakai entah sudah berusia berapa tahun. Dulu saya menemukannya dalam kondisi seken alias bekas atau mantan. Saya tidak terlalu ingat, mungkin sekitar tahun 2018 atau mungkin juga setahun atau dua tahun sebelumnya, saya membelinya dari seorang tetangga yang menafkahi keluarganya melalui usaha jual beli hape mantan (baca: bekas). 

Pada awalnya, saya berniat membeli smartphone dengan harapan dukungan kamera yang lebih baik. Tujuannya sebagai alat dokumentasi kegiatan dan pengambilan gambar-gambar tertentu yang berhubungan dengan profesi saya sebagai guru untuk pembelajaran. 

Namun, dalam perkembangannya fungsi gawai generasi afkir ini memperluas aktivitas saya dalam dunia maya. Telepon pintar ini memiliki andil dalam mengantarkan saya menuju beberapa aktivitas daring. 

Smartpohone itu pula yang membuat saya mengenal WhatsApp, padahal layanan pesan singkat yang mampu menggeser peran SMS dan blackberry messenger ini telah mulai dikenal di Indonesia sejak 2011-2012. Saya makin gila dengan aktivitas pesbukan, tuiteran, instagraman, dan belakangan, tiktokan. 

Sejumlah transaksi online pada beberapa market place yang saya lakukan juga tidak lepas dari smartphone itu. Alat komunikasi ini sedikit banyak memberikan andil kepada saya untuk memuaskan napsu belanja yang sesekali tidak terkendali.

Sebagai produk yang datang dari masa lalu, memori smartphone itu teramat kecil. Dia kerap mengeluh karena merasa dijejali dengan sejumlah besar data, terutama data berupa gambar yang dikirim anggota WAG. 

Kadang anggota WAG juga gak berperasaan, lebay. Mungkin karena mental flexing, mereka merasa berkewajiban harus mengirimkan sejumlah besar gambar atau video saat sedang berada di suatu tempat atau sedang melakukan aktivitas yang mereka anggap luar biasa. 

Saya tidak habis pikir, mengapa harus kirim gambar banyak-banyak. Belum lagi ditambah dengan video. Bukankah dengan satu dua gambar saja sudah mewakili informasi visual yang ingin disampaikan?

Dalam kondisi seperti itu, akhirnya hape seperti saya jadi korban. Kapasitasnya yang kecil membuatnya tidak kuat karena Dibanjiri data dengan volume berlebihan. Ibarat sebuah cangkir yang isinya melimpah keluar karena dituangkan seember air.

Namun pada akhirnya saya menyadari bahwa saya tidak dapat menghentikan dan melarang orang mengirim gambar atau video. Hal yang dapat saya lakukan hanyalah dengan mematikan unduhan Otomatis WhatsApp atau menghapus data yang tidak perlu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun