Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pusara Ibu

26 Februari 2024   10:29 Diperbarui: 26 Februari 2024   10:41 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pusara Ibu /Dokpri

Pagi yang basah. Saya merasakan sentuhan dingin saat menginjakkan kaki di jalan setapak menuju pemakaman. Rasa dingin itu berasal dari titik embun pada rerumputan yang tumbuh liar di atasnya.

Usai shalat subuh di masjid saya melangkah menuju ke pemakaman umum di mana ibu menjalani istirahat panjangnya. Itulah rutinitas saya setiap selesai shalat subuh jumat pagi. Bersama Fitri, adik perempuan saya, biasanya saya mengunjungi Ibu untuk memanjatkan doa di atas pusaranya. Doa untuk beliau, kakek dan nenek, serta semua orang yang bersitirahat panjang di pemakaman itu.

Ibu pergi untuk selamanya beberapa tahun yang lalu. Beliau akhirnya menyudahi penderitaannya akibat penyakit yang menggerogoti tubuhnya sejak lama. 

Rasa sakit bertahun-tahun dirasakannya pada area pinggang hingga lutut. Beliau kerap meringis akibat deraan rasa nyeri tak bertepi. Menurut dokter, itu dipicu oleh osteoporosis tulang belakang. Lututnya sendiri tidak dapat ditekuk. Akibatnya Ibu harus menyeret kakinya saat berjalan. Ini pula yang membuat beliau hanya bisa shalat di atas kursi.

"Minggu depan jadwal kontrol ke dokter. Kamu punya waktu mengantar Ibu?" tanya Ibtu suatu pagi saat saya akan berangkat ke sekolah.

"Insya Allah Bu. Kalau hari itu tidak ada kegiatan yang terlalu penting saya usahakan."

Saya tiba di gerbang pemakaman. Tampak para peziarah sudah ada yang datang. Beberapa orang duduk di pusara keluarganya masing-masing. Beberapa orang lainnya sedang mencari tempat yang nyaman di area makam untuk duduk berdoa.

Saya sendiri mengarahkan langkah ke pusara Ibu. Berjingkat saya berjalan menghindari rumput makam yang dingin akibat titik embun. Saya memilih mengambil tempat duduk di salah satu sisi pusara persis pada batu nisan. Warna putih yang mendasari nisan itu masih utuh. 

Nama Ibu yang terpahat pada permukaan nisan dengan warna keemasan juga masih terbaca dengan jelas. Sejelas itulah kenangan kebaikan, kesabaran, dan segala keluhurannya. Semua itu tetap terpahat dalam kesadaran saya, saudara-saudara saya, terutama ayah, dan pada semua orang kampung.

Nama pada batu nisan itu seolah melukis wajah ibu yang sabar. Saya melihat bibir Ibu yang selalu tersenyum kepada semua orang. Suara yang selalu lembut menegur sapa setiap orang yang dikenalnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun