Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perilaku Brutal dan Kasar Remaja, Siapa yang Bertanggungjawab?

30 November 2022   16:47 Diperbarui: 30 November 2022   21:50 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua peristiwa ramai beredar di media sosial dalam minggu-minggu terakhir ini. Pertama seorang nenek dianiaya enam orang remaja berseragam sekolah. Tanpa alasan anak-anak berseragam pramuka itu tetiba saja menghajar perempuan tua yang tengah berdiri di pinggir jalan. 

Laiknya petarung MMA, salah seorang di antara anak itu melayangkan tendangannya ke arah perempuan renta itu. Tendangan itu membuat nenek terhuyung dan jatuh terjengkang. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kejadian serupa juga sudah terjadi sebelumnya dengan pelaku dan korban yang sama dan dikabarkan mengalami gangguan jiwa. Peristiwa ini menarik perhatian banyak orang.

Peristiwa lainnya, seorang anak pengendara sepeda motor marah-marah saat ditegur polisi karena tidak mengenakan helm. Dengan sabar polisi itu memberikan pengertian bahwa anak itu telah melanggar peraturan lalu lintas. Alih-alih menerima teguran dan penjelasan polisi, bocah belasan tahun itu malah mengeluarkan makian.

Dua kejadian di atas mengisyaratkan bahwa betapa perilaku anak-anak dan remaja saat ini begitu gampang melakukan tindakan di luar nalar dan perasaan. Kejadian pertama telah memberikan gambaran bahwa rasa empati anak-anak dan remaja terhadap orang lain seakan sudah terkubur.

Sikap brutal dan perilaku kasar memang tidak ditunjukkan oleh semua remaja. Masih banyak di antara mereka yang memiliki karakter yang mencerminkan pekerti yang luhur. Namun, kondisi ini tidak membuat kita membiarkan dan membenarkan tindakan serupa sehingga terus terjadi.

Bagaimana mungkin anak-anak dengan menggunakan seragam sekolah dapat melakukan tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan sikap manusiawi? Sebuah tindakan bar-bar yang tidak dapat dipahami dan diterima oleh akal pikiran. Tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang apapun, kecuali para penggemar perilaku kekerasan itu sendiri. Lalu apa yang salah dengan generasi kita?

Perilaku serupa bisa saja terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Tindakan yang mengabaikan aspek kemanusiaan bisa mewarnai setiap zaman sejarah kehidupan manusia. Bahkan manusia keturunan pertama dari Adam sanggup menghabisi saudaranya sendiri hanya karena rasa cemburu.

Penyebab Prilaku Kekerasan

Penyebab perilaku kekerasan (Aris Munandar: 2019) dipicu oleh sejumlah faktor yang terdiri dari, dendam, stabilitas emosi yang lemah, pola asuh dan suasana keluarga, tradisi, perubahan sosial ekonomi, modelling, gangguan harga diri dan hilangnya harga diri.

Penelitian yang dilakukan oleh Soewandi, (dalam Pusat Data dan Analisa Tempo, 2021), menyimpulkan bahwa faktor penyebab perilaku kekerasan dan kriminal pada remaja didominasi oleh ketidakharmonisan keluarga. 

Apa yang disimpulkan Soewandi di atas cukup logis. Anak-anak menjalani kehidupan bersama keluarga memiliki durasi yang paling lama dibandingkan dengan elemen lain dalam kesehariannya. Jika sepanjang hari seorang anak hanya mendapati suasana menegangkan dalam kehidupan keluarga, secara psikologis dapat membuatnya tidak nyaman. Bisa dibayangkan jika situasi seperti itu terus menerus terjadi, salah satu akibatnya adalah anak-anak akan mengalami emosi yang tidak stabil dan mudah marah. Pada titik puncak, kondisi ini dapat meledakkan emosinya dengan melakukan tindakan kekerasan kepada sesama.

Keluarga tentu bukan satu-satunya. Banyak ahli yang meyakini bahwa munculnya perilaku kekerasan pada seseorang disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan, tekanan sosial, kekerasan dalam keluarga (kekerasan dalam rumah tangga). Pemicu lainnya adalah tontonan yang disajikan oleh media. 

Masih dari buku yang sama, riset tahun 1999 oleh George Gerbner dari University of Pennsylvania ditemukan bahwa maraknya tayangan berbau kekerasan pada media televisi membuat emosi anak-anak menjadi rentan terhadap perilaku serupa. Anak-anak menjadi lemah menghadapi tekanan dan rasa sakit lalu melampiaskannya melalui sikap agresif dan anarkis.

Gerbner pada masa itu menempatkan televisi sebagai tersangka utama dan paling bertanggung jawab terhadap maraknya kekerasan dalam dunia remaja. 

Kekerasan sebagai Komoditi

Pesan tersirat dari Gebrner adalah tayangan kekerasan pada televisi pada masanya memiliki pasar.

Harus diakui bahwa peristiwa kekerasan menjadi salah satu objek yang kerap menarik bagi banyak orang. Setiap orang selalu memiliki sifat ingin tahu tentang peristiwa penganiayaan, pemukulan, perkelahian, perusakan, dan tindakan serupa lainnya. Kondisi ini sering dimanfaatkan sekelompok orang untuk mengambil keuntungan.

Saat ini media televisi bisa saja mengalami penurunan peminat akibat pertumbuhan dan perkembangan teknologi informasi. Hal ini disebabkan keberadaan media sosial yang menggeser peran televisi. Medsos menjadi salah satu instrumen yang memungkinkan seseorang dapat mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan bumi. Informasi itu menyelinap ke beranda, dapur, ruang makan, sampai tempat tidur.

Tayangan berbagai platform media sosial telah memberikan akses tanpa batas bagi penggunanya. Lebih dari itu beberapa platform itupun menawarkan keuntungan finansial kepada pegiatnya dengan membuat konten yang menarik. Salah satunya, peristiwa kekerasan. Dengan mengandalkan rating tinggi, penggunanya tidak segan-segan menarik perhatian banyak orang melalui tontonan kekerasan. Tontonan yang mempersembahkan kebrutalan, arogansi, dan perilaku semacam itu saat ini menjadi ladang penghasilan yang menggiurkan, dengan satu catatan, tentu masih banyak tayangan perilaku positif lainnya yang dapat memberikan pesan-pesan positif terhadap banyak orang.

Namun, tetap harus diwaspadai bahwa dengan banyaknya tontonan kekerasan telah, secara niscaya, memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Orang makin gampang marah, sikap menghargai orang lain makin berkurang, hilangnya empati kepada sesama merupakan resiko yang harus ditanggung manusia dari perkembangan teknologi informasi yang berkembang.

Itu berarti bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang damai dan menjalani keseharian dalam ketentraman dapat berpotensi terpapar nilai-nilai kekerasan melalui konten yang mengabaikan prinsip-prinsip edukatif.

Mencegah Kekerasan

Gagasan Tripusat Pendidikan dari Ki hajar Dewantoro yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menekan betapa pentingnya peran tiga lembaga yang berhubungan dengan dunia pendidikan, yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat.

Mencegah kekerasan yang dilakukan oleh remaja harus dimulai dari keluarga. Benteng utama ada di sini. Orang tua menempati posisi sentral dalam melakukan tindakan preventif atas munculnya perilaku kekerasan pada anak-anak.

Dalam konteks keluarga, komunikasi antar anggota keluarga menjadi penting. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi antara orang tua dan anak, antara anak dengan anak. Komunikasi itu haruslah bersifat terbuka dan demokratis.

Penting pula untuk mempertimbangkan kegiatan bersama dalam keluarga yang bersifat positif dan sederhana, misalnya, bersih rumah bersama, mengatur letak perabot rumah tangga, atau bercocok tanam di halaman rumah secara bersama. Satu hal yang penting bahwa orang tua memiliki peran sebagai rule model. Sebuah peran yang memungkinkan anak-anak mendapatkan panutan di dalam keluarganya sendiri. Sebagai role model, orang tua adalah sumber inspirasi atas berbagai nilai-nilai positif bagi anak-anak. 

Pusat pendidikan berikutnya adalah sekolah. Institusi pendidikan m enjadi lembaga ke dua yang bertanggungjawab dalam meminimalisir berkembangnya kekerasan di kalangan anak-anak. Lembaga pendidikan tentu tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan kerja sama, kemitraan, dan sinergitas yang intens antara orang tua dan pihak sekolah untuk melakukan kontrol terhadap kebiasaan anak-anak dalam kesehariannya.

Elemen lainnya adalah masyarakat. Lingkungan sosial yang damai telah lama dipercaya sebagai medium kendali perilaku anak-anak dan remaja. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial memiliki peran penting dalam menumbuhkan perilaku yang jauh dari kekerasan. semua pihak sepakat bahwa, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial kondusif akan mengalami perkembangan emosi yang stabil dan mampu mengendalikan diri.

Lombok Timur, 30-11-2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun