Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik: Urgensi dan Pertentangannya

25 Juli 2017   06:49 Diperbarui: 25 Juli 2017   08:18 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tadi malam saya terjebak macet yang sangat luar biasa di tol Jakarta-Cikampek. Berangkat sekitar pukul 21.00 dari rumah, masuk jalan KH Noer Alie, lalu Pekayon, hingga tol Bekasi Barat, langsung terjebak kemacetan.

Tak tahan dengan volume kendaraan yang begitu padat, setibanya di Rest Area KM 19, saya putuskan untuk menepi. Saya tak bisa menembus kemacetan yang dahsyat sehingga kendaraan satu sama lain terlihat saling mengunci.

Saya berpikir, barangkali semakin malam akan semakin lengang. Saya pun santai-santai sembari menunggu tengah malam. Tapi sampai pukul 00.00, 01.00, dan 02.00 WIB, apa yang terjadi bukannya semakin sepi. Semakin pagi, malah semakin ramai dan kemacetan makin tak terkendali.

"Ini beda dari biasanya," pikirku. Jika biasanya aku sering mengejar waktu dinihari untuk menghindari macet, tapi kali ini malah semakin pagi saat dini hari bahkan semakin menjelang sahur dan Shubuh, malah semakin meningkat.

Wajar saja. Ini musim mudik. Di musim mudik, tak ada kemacetan parah sepertinya kurang sempurna. Maka, bukan hanya mudiknya yang menjadi ritual tahunan, tapi kemacetannya pun menjadi tradisi yang tak kunjung berakhir. Masih ingat tragedi kemacetan Brexit yang hingga makan korban tahun lalu?

Saya sendiri, seperti biasa, menjadikan mudik sebagai ritual tahunan. Sejak hijrah ke Jakarta pada tahun 2009, mudik sudah menjadi tradisi yang tak pernah ku tinggalkan. Hanya sekali saya meninggalkan mudik yaitu pada tahun 2010. Saat itu saya tidak mudik, karena tuntutan pekerjaan. Sebagai reporter baru di Harian Umum Republika, saat itu diharuskan jaga "piket lebaran".  


Meski begitu berat dan penuh haru, tapi ku isi hari-hari itu  dengan tugas liputan. Salah satunya di Rutan Salemba untuk 'ngobrol' dengan para penikmat narkoba. Ku luangkan juga untuk memotret perkembangan suasana lebaran di tempat-tempat wisata ibu kota, seperti Silang Monas, Ancol, dan TMII.

Akhirnya, saya "sukses" melalui lebaran tanpa mudik. Tetapi setelah itu hingga saat ini,  mudik menjadi ritual tahunan saya, dan saya bahagia dengan tradisi itu.

Perlukah Mudik Itu Sebenarnya?

Pertanyaan ini layak kita renungkan, mengingat masih ada "suara-suara sumbang" yang muncul untuk mengkritik tradisi yang sudah bertahun-tahun di Bumi Pertiwi ini.

"Hanya di Indonesia ramai takbiran saat malam lebaran. Di negara lain gak ada. Hanya di Indonesia pakai mudik-mudik segala. Di tempat lain mana ada". Begitu kira-kira kata "nyinyires", mereka yang "kurang bahagia melihat orang lain bahagia".

Sebenarnya orang mau bilang apa juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, kebebasan menyampaikan ide-ide. Itu hak dia. Namun, melancarkan kritik tentu juga meniscayakan argumentasi yang kuat, bukan hanya sekedar kritik yang penting hati puas.

Memang, jika mudik ditinjau dari aspek kultural saja sebagai tradisi tahunan di akhir Ramadhan, akan melahirkan banyak perspektif, bahkan "salah sangka". Dari sekian banyak perspektif itu boleh jadi ada yang menyatakan bahwa tradisi mudik itu hanyalah tradisi yang menghambur-hamburkan uang, tradisi yang tidak perlu, tradisi yang tidak urgen.

Tetapi jika kita tinjau dari aspek sosiologis tentu berbeda dengan aspek kultural. Aspek sosiologis mensyaratkan adanya nilai-nilai sosial yang terbawa dari tradisi mudik. Ada makna dan nilai sosial yang tinggi dalam tradisi ini. Salah satunya adanya pertautan antara aspek individual dengan aspek komunal. Mudikers, orang-orang yang mudik, bisa kembali bersilaturahim, berkumpul dengan sanak famili, bersenda gurau dengan kerabat, tetangga-tetangga, bahkan bercengkrama dengan sahabat-sahabat masa lalunya di kampung halaman.

Bahkan lebih dari itu, tidak sedikit yang menjadikan mudik sebagai pintu merekonstruksi nilai-nilai sosial kita. Tidak sedikit para mudikers tampil merombak tatanan sosial, memberikan ide-ide pembaharuan dalam tatanan sosial kita. Mulai dari semisal membangun kampung, membangun organisasi di kampung, membangun keharmonisan masyarakat dan kerukunan, bahkan hingga membangun daerah.

Biasanya, di sebagian daerah tradisi ini dimediasi oleh pemerintah daerah. Di Pamekasan Madura misalnya, tiap pasca-Idul Fitri selalu ada "Temu Kangen Para Tokoh Madura di Perantauan". Biasanya beberapa tokoh seperti Mahfud MD, Didik J Rachbini, dan tokoh-tokoh lain selalu meluangkan waktu untuk hadir.

Momen-momen semacam ini juga diperlukan agar menjadikan masyarakat kita tidak terputus dari akar sosialnya. Tidak terpisah dari sejarah masa lalunya. Inilah aspek historisitas dari tradisi mudik.

Jika melihat aspek kesejarahan atau historisitas ini, tentu mudik menjadi salah satu penguat akar sejarah kita. Paling tidak sejarah yang dibangun adalah sejarah manusia dengan masa lalunya.  Kita, setiap individu memiliki sejarah atau masa lalu. Masa lalu itulah yang mengantarkan kita pada hari ini.

Oleh karenanya, jangan heran jika ada sebuah pernyataan bahwa tanpa masa lalu tidak akan pernah ada hari ini, dan tanpa hari ini pun kita juga tidak akan sampai pada hari esok. Jadi pertautan strategis antara sejarah masa lalu, sejarah hari ini, dan sejarah hari esok, merupakan takdir ilahi, yang amat berarti bagi manusia dan jalan hidupnya.

Kuatnya relasi ini kemudian mengharuskan manusia agar selalu mengingat masa lalunya. Manusia harus menempatkannya sebagai pelajaran, sebagai ibrah untuk mengarungi hari esok. (QS. Al-Hasyr: 15)

Inilah pentingnya kita memotret sejarah kita. Jika masa lalu kita ibaratkan sebagai permata, maka masa depan adalah permata yang terindah dari seluruh permata. Artinya bahwa masa depan kita haruslah jauh lebih baik dari masa lalu. Dalam konteks ini pandangan bahwa masa lalu membunuh masa depan juga kurang tepat, karena masa lalu hanya inspirasi untuk menuju masa depan.

Mengingat masa lalu tak lebih dari cara kita melihat nilai-nilai yang harus kita jadikan perbandingan dengan hari ini. Sebab, dalam etape kehidupan, masa depan kita akan melewati masa lalu dan masa kini. Karena pentingnya perbandingan ini, wajar jika Nabi menegaskan dengan sabdanya: "Jika harimu lebih baik dari hari kemarin, maka engkau telah beruntung; dan jika hari ini sama dengan hari kemarin kau telah merugi; dan jika harimu lebih buruk dari kemarin maka engkau telah celaka".

Inilah perbandingan perjalanan kehidupan kita. Dari hari ke hari, ia haruslah lebih baik. Kualitas hidup harus terus meningkat, dan kita harus terus naik kelas.  Jangan sampai kehidupan kita statis, apalagi berjalan di tempat. Begitu pun dalam perjalanan usia.

Dus, mudik selain memperkuat nilai-nilai sosial, juga menumbuhkan kesadaran sejarah. Maka dengan demikian, saya yakin sebagian masyarakat kita, tidak hanya menjadikan mudik sebagai cara untuk melepaskan kangen dengan sanak famili, apalagi hanya untuk sekadar menghambur-hamburkan uang.

Wallahu a'lamu bi al-shawab

Grand Sharon Residence Bandung, 23 Juni 2017

Pukul 22.00 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun