Mohon tunggu...
Muhammad Nidhal
Muhammad Nidhal Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis medioker
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengamat, pembaca, dan (calon) penulis. Bercita-cita membuahkan karya tulis yang bisa mengubah hidup banyak orang ke arah yang positif. #PeaceLoveUnity

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Radikal yang Disalahartikan

5 November 2019   01:48 Diperbarui: 5 November 2019   01:51 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir setiap pergerakan perubahan dan revolusi besar dunia, adalah buah tangan kaum radikal. Bukan kaum moderat atau kaum tengah(isme). Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merdeka sebagian besar karena pengorbanan kaum radikal. Mereka yang dibunuh, dibuih, dan dibuang. Tokoh-tokoh kunci pergerakan nasional, seperti Tjipto Mangungkusumo, Ernest Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat, digolongkan sebagai nasionalis-radikal.

Bahkan Presiden pertama kita, Soekarno, adalah seorang yang radikal dan menganjurkan radikalisme. Dalam risalahnya di tahun 1933, Mencapai Indonesia Merdeka, beliau menjelaskan pengertian radikal dengan sangat tepat.

"Radikalisme, --terambil dari perkataan radix, yang artinya akar--, radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjoang tidak setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai ke akar-akarnya kesengitan antitese, tidak setengah-setengahan hanya mencari "untung ini hari" sahaja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imperialisme sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan peroebahan-peroebahan yang kecil-kecil sahaja tapi mau mendirikan masyarakat baru sama sekali di atas akar-akar yang baru, berjoang habis-habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru di atas akar-akar yang baru," tulis Sukarno.

Bangsa ini sudah lama tertinggal dalam berpikir radikal, akibatnya diskursus publik kita kontra-produktif, indeks demokrasi kita menurun, kualitas politisi kita dangkal, pertarungan politik kita miskin gagasan dan perkembangan teknologi-informasi kita tertinggal jauh oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, kita tidak perlu mengorbankan bentuk-bentuk radikalisme yang positif, yakni kebutuhan-kebutuhan perubahan mendasar terhadap sistem sosial yang menindas seperti sekarang ini.

Kembali lagi, kenapa menurut saya ini penting (bahaya distorsi radikal), karena penggunaan terminologi yang salah berpotensi menimbulkan interpretasi yang salah, dan pada akhirnya berujung pada tindakan yang kurang tepat bahkan cenderung destruktif. Seperti misalnya, de-radikalisasi yang sudah berjalan sekian tahun tapi masih mengalami jalan buntu. Saya melihatnya sebagai monopoli negara atas penafsiran radikal, atau dalam bahasa lain "politisasi radikal(isme)."

Pemerintah sebaiknya tidak perlu bersikap hiperbolik mengenai isu radikalisme. Semakin digaungkan, semakin publik curiga. Jangan-jangan ada kegagalan-kegagalan yang hendak disembunyikan (baca: pengalihan isu). Padahal persoalan kesejahteraan ekonomi, pemberantasan korupsi, penegakan hukum yang adil, serta disparitas sosial yang semakin melebar yang seharusnya difokuskan saat ini. Seharusnya mereka yang punya kuasa memberi rasa aman kepada warga negaranya, bukan memprovokasi dengan ancaman-ancaman pseudo-komedi.

Terakhir, para pemikir dan pemimpin dunia seperti Nelson Mandela, Karl Marx, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., Soekarno, Che Guevara, Aristoteles, Fidel Castro, Vladimir Lenin, dan lainnya, tidak akan mampu melahirkan perubahan revolusioner tanpa adanya pemikiran yang radikal. Yang Jelas, bagi saya, menjadi seorang radikal itu tidak salah!

---

Oleh: Muhammad Nidhal
Pegiat isu-isu politik, sosial, budaya, dan hubungan internasional
Email: moenidol97@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun