Mohon tunggu...
Muhibuddin Aifa
Muhibuddin Aifa Mohon Tunggu... Perawat - Wiraswasta

Jika Membaca dan Menulis adalah Cara yang paling mujarab dalam merawat Nalar, Maka Kuliah Adalah Pelengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Apa Harus Cerai Karena Utang?

7 Agustus 2020   11:28 Diperbarui: 7 Agustus 2020   11:51 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto (wordpress.com)

Dalam pergaulan kita memiliki bayak teman, namun tidak semuanya beruntung dan mapan secara ekonomi. Sebagai pekerja di sebuah layanan kesehatan, sekitar beberapa bulan yang lalu, disela-sela istirahat saya bersama teman sejawat mencoba berdiskusi ringan. 

Dia memulai pembicaraannya tentang kondisi ekonominya, akibat kebutuhan yang meningkat, untuk cicilan mobil biaya pendidikan anak, ia rela berutang secara online, awalnya sih hanya Rp. 3 jutaaan, kini jangan tanyak lagi sudah mendekati angka Rp.50 juta.

Saya sebagai temannya mulai serius mendengarkanya, sambil berurai air mata ia terus menjelaskan persoaalannya. Ia dan suaminya sama-sama bekerja, ya dengan pendapatan lumayan lebih dari cukup. 

Namun karena pingin memiliki kendaraan roda empat sepakatlah mereka untuk kredit sebuah mobil keluaran terbaru dengan Down Payment (DP) sangat murah. Rp. 30juta sudah bisa memiliki mobil tersebut. Sejak ansuran kredit bulan ketiga mereka sudah merasakan kesulitan keuangan.

Suaminya sebagai PNS sudah menjadikan SK-nya sebagai jaminan disebuah Bank untuk kredit mobil mereka. Seiring dengan susahnya nyecil angsuran mereka sepakat untuk meminjam dana secara online, kali ini atas permintaan suaminya menggunakan identitasnya. 

Sudah jatuh tertimpa tangga lagi, mungkin kiasan itu tepat untuk mereka, karena bukannya menyelesaikan persoalan tapi semakin menambah masalah baru. 

Awalnya lancar-lancar saja, namun karena tergiur kemudaan administrasi dan kebutuhan yang kian mendesak tanpa terasa pinjaman online telah melilit leher mereka dengan jumlah pinjaman online mendekati Rp. 50 juta.

Untuk ansuran mobil Rp. 6 jutaan dan untuk menyelesaikan pinjaman online harus menutup perbulan sekitar Rp. 3 jutaan, sekarang total pengeluaran untuk ansuran adalah Rp. 9 Jutaan. 

Sementara gajinya dan gaji suami bila ditotalkan sekitar Rp. 8 Juta 5 ratus ribu. Nah muncul masalah yang rumitkan?, bagaimana ia harus mengakalinya, untuk cicilan kedua pinjaman tersebut aja mereka harus ngutang Rp.500 ribu lagi. 

Belum lagi berbicara tentang kebutuhan rumah tangga, biaya operasional dan perawatan mobil. Inilah bencana terbesar dalam keluarga kami, teman sejawat saya mengakirinya kisah pahitnya.

Pada hari yang berbeda saya kembali berdinas satu sift dengan ibu-ibu tadi, kali ini dia dengan jengkelnya bercerita tentang tabiat suaminya yang sudah berhaluan kiri. Sering marah-marah, jarang dirumah dan yang paling membuatnya murka adalah kedapatan pesan mesra di HP suaminya via Whatsap dari seorang perempuan yang diduga selingkuhan suaminya.

Permasalahan semakin menjadi-menjadi, dept collector mulai mengintai untuk masalah cicilan kredit mobil, ansuran pinjman online. Anak-anaknya yang nunggak SPP di sekolah, bertambah lagi dengan ulah suaminya yang main gila dengan perempuan lain. Ia hampir melakukan upaya bunuh diri (suicice) namun urung dilakukan karena masih ingat dengan yang di atas, lagian anak-anaknya masih kecil. Imbuhnya.

Bukankah kredit dimasa pandemi covid-19 masih bisa ditunda pembayarannya, sebagaimana yang di sampaikan Bapak Presiden Jokowi?, Upaya untuk memperoleh keringanan juga sudah pernah dilakukan dengan kedua pihak penyedia layanan jasa keuangan tersebut. 

Tapi jawabannya mengejutkan, kata pihak Bank yang bisa ditangguhkan adalah pelaku usaha dagang, jualannya kurang laku atau bahakan sama sekali tidak laku selama pandemi cvid-19.

Untuk PNS dan tenaga kontrak kan selalu menerima gaji, jadi tidak ada alasan untuk tidak membayar cicilan, ungkap pihak Bank. Ketimpangan informasi dari presiden mengenai hal penangguhan cicilan kredit, tanpa disertai dengan regulasi yang jelas, menyebabkan masyarakat menganggap himbauan tersebut seperti Hoax.

Budaya Konsumtif yang Berlebihan. 

Masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan budaya konsumtif yang berlebihan, dikatakan sebagai kebutuhan, tidak juga, karena barang-barang yang di beli pada umumnya tergolong dalam katagori skunder.

Saya melihat kebanyakan orang memaksakan keinginannya untuk memiliki barang-barang mewah, seperti mobil padahal kebutuhan akan mobil pribadi masih dapat ditunda dulu. Tanpa harus mengikat lehernya dengan hutang kredit.

Katakanlah uang DP mobil Rp. 30 Jutaan, seandainya kita investasikan untuk membeli tanah di pedesaan. Akan mengalami kenaikan harga dua kali lipat jelang lima tahun kedepan, aset akan bertambah, hidupun akan tenang tanpa hutang yang melilit.

Dulu sekitar tahun 2009 saya pernah membeli dua petak tanah sawah di kampong saya Aceh Utara, saat saya beli per petak harganya sekitar Rp.8 Jutaan, total dua petak Rp. 16 Juta. Setelah 8 tahun kemudian tepatnya pertengahan 2017 saya menjual satu petak dengan harga yang fantastis sekitar Rp. 50 Juta. 

Saya menjual sebagai tambahan uang untuk membeli properti rumah. Jadi uang yang sedikit jangan dijadikan DP mobil ya, tapi investasikan dalam bentuk tanah ataupun emas.

Hindari Utang

Ini agak sulit dilakukan, karena kita sudah terlanjur memiliki kebiasan konsumtif yang tinggi, saya juga salah satu dari jutaan masyarakat Indonesia yang tergiur membeli mobil. Ketika itu tahun 2014 saya membeli mobil Jazz Vittec keluaran tahun 2007 dengan harga Rp. 126 Juta. Saya menggunakan uang tabungan dari hasil gaji dan usaha depot obat, padahal saya tidak begitu membutuhkan mobil.

Namun karena agar tampak keren saya memutuskan untuk memilikinya, padahal itu hanyalah aktualisasi semu untuk sebuah pengakuan dari orang lain agar dikatakan hebat. Hingga saat ini saya masih memiliki mobil tersebut, baru-baru ini saya coba menanyakan harga jualnya, pihak sowroom mengatakan harganya sekitar Rp.80 jutaan.  Berarti saya akan kehilangan aset sekitar Rp.46 Juta.

Berdasarkan pangalaman saya diatas, mungkin bisa menginspirasi orang lain agar mengurangi budaya konsumtif. Setiap orang memiliki keinginan untuk hidup mewah, tapi semua itu harus di iringi dengan usaha dan kerja keras serta manajemen keuangan yang baik. Kita harus menahan keinginan untuk memiliki barang mewah secara instan, demi terciptanya stabilitas keuangan kita.

Hidup tanpa hutang lebih damai, sembari menabung secara pelan-pelan, kemudian menggunakan sedikit uang yang lebih dari kebutuhan primer untuk membeli aset berharga yang akan terus mengalami kenaikan harga dimasa mendatang.

Saya kembali teringat tentang sahabat yang telah saya ceritakan diatas, sewaktu bertemu dengan nya baru-baru ini. Ia mengatakan telah mengajukan gugutan cerai terhadap suaminya, katanya dirinya sudah tidak tahan lagi dengan masalah hutang yang menggerogoti rumah tangganya. 

Semenjak terbabani dengan hutang mereka sering cekcok akibat tidak bisa memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga. Ditambah dengan kelakuan suami yang berselingkuh dengan perempuan lain, bisa jadi suaminya mengalihkan masalah dengan cara seperti itu.

Kebanyakan masalah hutang tidak saja menyebabkan seseorang menjadi miskin, tapi juga muncul persoalan lain, seperti masalah dengan pendidikan anak. Bahkan yang paling miris adalah kehancuran rumah tangga, seperti sahabat saya yang telah mengajukan gugutan cerai pada suaminya. Kalau sudah begitu siapa yang akan kita salahkan? Apa harus cerai karena hutang?

Banda Aceh, 07 Agustus 2020

Moehib Aifa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun