Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengusulkan dan mulai membahas rancangan undang-undang kontroversial yang berbunyi: "Tabungan warga yang mengendap tanpa aktivitas selama tiga bulan dapat ditarik atau dimanfaatkan oleh negara. Begitu pula tanah yang dibiarkan tidak produktif selama beberapa bulan dapat dialihfungsikan untuk kepentingan umum."
Kebijakan ini menuai banyak respons, baik pro maupun kontra. Di tengah kebutuhan negara untuk mendorong pemerataan ekonomi dan mengoptimalkan sumber daya yang ada, muncul pertanyaan besar: apakah negara terlalu jauh mencampuri ranah privat warganya?
ARGUMEN YANG MENDUKUNG: Redistribusi, Keadilan Sosial, dan Aktivasi Aset Menganggur
1. Mendorong Sirkulasi Dana di Masyarakat Salah satu argumen pemerintah adalah bahwa terlalu banyak dana 'tidur' di tabungan individu maupun korporasi, yang tidak ikut menggerakkan ekonomi riil. Bila uang hanya mengendap di bank tanpa perputaran atau investasi, maka roda ekonomi melambat. Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap uang bisa diputar kembali untuk pembiayaan program-program strategis.
2. Pemanfaatan Tanah Terlantar Di Indonesia, banyak tanah yang tidak terurus bertahun-tahun, hanya untuk kepentingan investasi jangka panjang. Sementara itu, jutaan petani, nelayan, dan keluarga miskin tak memiliki lahan untuk digarap. Kebijakan ini diharapkan membuka jalan untuk reformasi agraria dan penguatan ketahanan pangan nasional.
3. Pemerataan Aset dan Peluang Ekonomi Negara berharap kebijakan ini menjadi insentif untuk mendorong masyarakat agar lebih aktif mengelola asetnya. Tabungan bisa diarahkan ke investasi produktif. Tanah bisa disewakan, dijadikan lahan pertanian atau usaha. Negara mengambil peran hanya ketika pemilik tidak menunjukkan niat untuk mengelola.
4. Inspirasi dari Model Negara Lain Beberapa negara maju seperti Swiss dan Finlandia memiliki kebijakan perpajakan tinggi untuk dana tak terpakai atau properti yang tidak dimanfaatkan. Ini menjadi referensi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang mengutamakan asas keadilan distributif.
ARGUMEN YANG MENENTANG: Melanggar Hak Milik dan Potensi Penyalahgunaan
1. Melanggar Prinsip Hak Asasi dan Kepemilikan Pribadi Konstitusi Indonesia menjamin hak atas kepemilikan pribadi. Menarik tabungan atau mengambil alih tanah pribadi karena dianggap 'menganggur' bisa dianggap sebagai bentuk perampasan hak secara tidak langsung. Warga punya hak untuk menyimpan uang atau membiarkan tanahnya tidak dipakai, tanpa harus khawatir akan campur tangan negara.
2. Tak Semua Tabungan 'Diam' Berarti Tidak Berguna Ada banyak alasan orang menyimpan dana dalam jangka waktu panjang---biaya pendidikan, pensiun, atau dana darurat. Menganggap bahwa dana yang tidak bergerak selama tiga bulan berarti 'tidak produktif' adalah generalisasi yang bisa merugikan rakyat kecil.
3. Potensi Korupsi dan Salah Kelola Dalam praktik birokrasi, kebijakan yang membuka celah penyitaan atau pengambilalihan aset bisa disalahgunakan oleh oknum untuk keuntungan pribadi atau korporasi. Tanah yang diambil atas nama 'ketidakaktifan' bisa saja jatuh ke tangan pengembang besar, bukan untuk rakyat.
4. Menimbulkan Ketakutan di Masyarakat Alih-alih mendorong ekonomi, kebijakan ini bisa memunculkan ketidakpercayaan pada pemerintah dan sistem keuangan. Orang bisa mulai menyimpan uang di luar sistem perbankan, atau menjual tanah dengan harga murah karena takut 'diambil negara'.
Apa Solusinya?
Pakar kebijakan publik menyarankan pendekatan yang lebih bijak:
Pemberian Insentif, Bukan Sanksi: Alih-alih menarik paksa, pemerintah bisa memberi insentif pajak atau dukungan bagi pemilik yang mengelola asetnya secara produktif.
Batasan Jelas dan Transparan: Harus ada parameter yang jelas tentang apa yang dimaksud 'tidak aktif'---apakah benar-benar tidak ada transaksi? Bagaimana dengan tabungan deposito?
Keterlibatan Masyarakat: Diskusi publik, dengar pendapat dengan akademisi, petani, dan pelaku UMKM perlu dilakukan agar tidak muncul kebijakan yang "top-down" dan tidak peka terhadap kenyataan di lapangan.
Penutup
Kebijakan apapun yang menyentuh ranah pribadi warga negara, terutama yang berkaitan dengan harta dan tanah, harus dilandasi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Pemerintah memang berkepentingan menggerakkan ekonomi nasional, namun harus tetap menjamin perlindungan terhadap hak milik warganya.
Undang-undang ini bisa jadi peluang emas untuk pemerataan ekonomi---namun juga berisiko menjadi alat represi jika tak dijaga dengan benar. Kita sebagai warga negara wajib ikut bersuara dan mengawal proses legislasi ini agar tidak mengorbankan keadilan atas nama efisiensi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI