Ketika Indonesia menatap visi Indonesia Emas 2045, ada satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari negara Jepang, bahwa pembangunan bangsa sejatinya berawal dari pembangunan manusia. Negara Jepang punya filosofi hitozukuri, sebuah konsep membentuk manusia secara utuh, bukan hanya melatih keterampilan teknis, tetapi juga membangun karakter, etos kerja, dan kepekaan sosial. Inilah yang membuat negara Jepang mampu bangkit pasca perang dan menjelma menjadi negara industri maju. Pertanyaannya, bisakah Indonesia menempuh jalan serupa untuk menjadikan bonus demografi sebagai kekuatan nyata, bukan sekedar angka statistik?
Filosofi hitozukuri di negara Jepang tidak dapat dilepaskan dari landasan kultural yang kuat, yakni perpaduan antara kepekaan (sensibility) dan kearifan Timur (oriental wisdom). Junichi Nakamura (2024) dalam bukunya "Japanese Sensibility and Oriental Wisdom" menekankan bahwa keberhasilan negara Jepang dalam menata gaya hidup baru di era modern bukan hanya karena kemajuan teknologi, tetapi juga karena nilai-nilai mendalam seperti kesederhanaan, harmoni dengan alam, etika kerja kolektif, dan perhatian terhadap detail (kodawari). Prinsip-prinsip ini membentuk "jiwa" hitozukuri, manusia yang tidak hanya hebat dalam bekerja, tetapi juga memiliki sensibilitas sosial, budaya, dan spiritual. Bagi Indonesia, mengadopsi prinsip ini berarti bahwa pembangunan SDM tidak boleh hanya terfokus pada aspek teknis, melainkan juga menanamkan kesadaran etis, estetis, dan keberlanjutan sebagai fondasi pembangunan jangka panjang.
Buku "Japan's International Cooperation in Education" karya Kuroda, Kayashima, & Kitamura tahun 2022 menunjukkan bagaimana negara Jepang berfokus pada pembangunan kapasitas jangka panjang dan berkelanjutan melalui pendidikan berkualitas, bukan hanya transfer keterampilan sesaat akan tetapi juga mengasah kepekaan manusia terhadap lingkungan sosial dan ekologisnya. Pendekatan ini sejalan dengan kebutuhan Indonesia hari ini, bonus demografi tidak cukup diisi dengan mencetak tenaga kerja murah, melainkan generasi yang tangguh, terampil, dan adaptif terhadap perubahan. Sementara itu, di dalam buku "Technical and Vocational Education and Training"Â karya Ye, Stavropoulos, & Jiang tahun 2024 menegaskan pentingnya ekosistem pendidikan vokasi yang relevan dengan dunia kerja melalui kurikulum yang dirancang bersama industri, sertifikasi kompetensi yang terstandardisasi, dan jalur pembelajaran sepanjang hayat. Jika hal ini diterapkan, lulusan sekolah maupun perguruan tinggi Indonesia tidak hanya siap kerja, tetapi juga siap berkembang mengikuti arus teknologi baru yang berkarakter, berbudaya, dan memiliki etika pembangunan berkelanjutan.
Akan tetapi, hitozukuri tidak berhenti hanya terkait hal tersebut di atas. Seperti dijelaskan dalam buku "The Rise of the Japanese Specialist Manufacturer" yang dibuat oleh Ferguson Evans tahun 2008, keunggulan negara Jepang justru muncul dari perusahaan menengah spesialis yang menguasai ceruk/ target pasar tertentu. Mereka bukan raksasa, tetapi ahli di bidang yang sangat spesifik dan dari situlah lahir keunggulan global. Bagi Indonesia, ini pelajaran penting, jangan hanya mengejar industri besar, akan tetapi mendorong tumbuhnya industri spesialis berbasis keterampilan unik dan inovasi lokal.
Hal ini selaras dengan buku "History of Innovative Entrepreneurs in Japan" karya Takeo Kikkawa tahun 2023, yang menunjukkan bahwa keberanian pengusaha Jepang berinovasi tetap berpijak pada tradisi dan kearifan lokal. Inilah yang ditekankan Nakamura, keseimbangan antara modernitas dan tradisi. Jadi, jika negara Jepang punya pengusaha yang memadukan keterampilan teknis dengan filosofi kesempurnaan dalam detail (perfection in craftsmanship) dengan inovasi, Indonesia juga seharusnya bisa melahirkan wirausaha yang memadukan kearifan budaya nusantara dengan teknologi modern. Pengembangan kewirausahaan ke depan perlu berlandaskan nilai budaya nusantara yang dipadukan dengan inovasi global. Dengan mengadopsi hitozukuri dan sensibilitas ala negara Jepang, wirausaha muda Indonesia tidak hanya menjadi pelaku bisnis yang oportunis, tetapi juga inovator yang membawa nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan.
Buku "Japanese Sensibility and Oriental Wisdom" karya Nakamura memberi warna baru. Nakamura menegaskan bahwa keberhasilan Jepang tidak hanya soal teknologi, melainkan juga karena sensibility, kepekaan terhadap detail, harmoni dengan alam, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial. Filosofi ini melengkapi hitozukuri, manusia unggul bukan hanya cerdas dan terampil, tapi juga peka, beretika, dan peduli. Bangsa Indonesia perlu menginternalisasi nilai ini agar pembangunan Indonesia Emas 2045 tidak hanya menghasilkan tenaga kerja kompetitif, tapi juga masyarakat yang berbudaya, seimbang, dan berorientasi keberlanjutan.
Nakamura memperkuat gagasan bahwa sensibilitas budaya misalnya nilai monozukuri yang dipadukan dengan estetika kesederhanaan dan kesetiaan pada kualitas dapat menciptakan produk yang bukan hanya efisien, tetapi juga bermakna. Jika Indonesia ingin mendorong lahirnya industri spesialis yang unggul, maka harus dibangun budaya kerja yang tidak sekadar mengejar produksi massal, tetapi menumbuhkan kebanggaan dalam keahlian, kepedulian terhadap konsumen, serta orientasi pada keberlanjutan.
Di dalam buku "Post-Education-for-All and Sustainable Development Paradigm" menekankan bahwa pendidikan modern menuntut keterlibatan multipihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Integrasi dengan perspektif Nakamura mengindikasikan bahwa pembangunan SDM tidak boleh sekadar mekanistik, tetapi perlu memasukkan nilai-nilai kebijaksanaan Timur, seperti keselarasan, keseimbangan, dan harmoni ke dalam kebijakan. Artinya, program pemerintah, industri, LSM, dan lembaga internasional harus berjalan dengan kesadaran bahwa pembangunan manusia sejati adalah pembangunan yang memuliakan martabat, budaya, dan keberlanjutan hidup.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini berarti harus membangun ekosistem hitozukuri yang tidak hanya bergantung pada sekolah dan universitas, tetapi juga pada dunia usaha, komunitas, bahkan keluarga. Dengan cara seperti itu, pendidikan tidak lagi berhenti di ruang kelas, melainkan menjadi budaya belajar sepanjang hayat di seluruh lapisan masyarakat. Jika bangsa Indonesia ingin benar-benar ingin mencapai Indonesia Emas 2045, kuncinya adalah mengadopsi semangat hitozukuri ala negara Jepang, dengan membentuk manusia utuh yang terampil, inovatif, berkarakter, dan berkepekaan sosial. Negara Jepang sudah membuktikan bahwa manusia yang ditempa dengan disiplin, kearifan, dan inovasi bisa mengangkat bangsa dari keterpurukan menuju kejayaan.
Visi Indonesia Emas 2045 akan lebih mudah tercapai jika bangsa ini mampu membentuk manusia yang bukan hanya cerdas dan kompeten, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, etika budaya, dan orientasi keberlanjutan. Negara Jepang menunjukkan bahwa kemajuan industri dan teknologi tidak akan kokoh tanpa fondasi kultural dan spiritual yang kuat. Kini giliran bangsa Indonesia harus menjadikan pembangunan manusia sebagai investasi terbesar, bukan hanya sebagai pekerja kompetitif, tapi juga pemimpin perubahan di panggung dunia dengan menyeimbangkan aspek teknis, inovatif, dan kearifan budaya, sehingga lahir generasi yang unggul dalam keterampilan, berakar pada nilai, dan siap menghadapi tantangan global.