Mohon tunggu...
Mochammad Mukti Ali
Mochammad Mukti Ali Mohon Tunggu... CEO Global Teknik Engineering dan Rektor Universitas INABA

Guru Besar di Global Academy of Financial and Management (GAFM) pada bidang Strategi Manajemen Bisnis dan Manajemen Pemasaran

Selanjutnya

Tutup

Financial

Memperkuat Gagasan SUMITRONOMIC's

25 September 2025   13:05 Diperbarui: 25 September 2025   13:05 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar Sumitronomic's (Mukti.Dok.)

Sumitronomics, gagasan ekonomi yang diilhami oleh pemikiran Sumitro Djojohadikusumo dan diangkat kembali oleh pembuat kebijakan Indonesia baru-baru ini, bertumpu pada tiga pilar: pertumbuhan tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, dan stabilitas nasional dinamis. Rencana ini turut menjadi kerangka ambisi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan besar guna mengejar target ekonomi jangka menengah hingga 8%, sebuah target yang mendapat perhatian publik dan analis kebijakan. (Antara News)

Secara konseptual, ketiga pilar Sumitronomics masih relevan di tengah perlambatan pasca-pandemi, fluktuasi harga komoditas, dan kompetisi geopolitik yang intens, negara berkembang membutuhkan kerangka yang menyeimbangkan dorongan pertumbuhan (untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan nasional) dengan kebijakan yang mengurangi ketimpangan dan menjaga stabilitas makro. Pilar-pilar tersebut secara teori merangkum kebutuhan dasar pembangunan ekonomi modern berupa percepatan output, menjamin distribusi dan manfaat, serta mencegah guncangan politik-ekonomi menggerus kemajuan. (Antara News). Ketiga pilar tersebut masih memiliki relevansi yang kuat terhadap kondisi tantangan global saat ini.

Pertama, dalam era pasca-pandemi dan ketidakpastian makroekonomi (termasuk gangguan rantai pasokan, inflasi global, dan lonjakan harga komoditas), dorongan untuk pertumbuhan ekonomi tinggi diperlukan agar negara bisa mengejar ketertinggalan, memperkuat cadangan, dan menarik investasi asing maupun domestik. Sumitronomics menyarankan agar mesin-mesin pertumbuhan seperti fiskal, sektor keuangan, dan iklim investasi difokuskan secara sinergis agar pertumbuhan dapat melampaui 6% dalam jangka menengah, dan ditargetkan hingga 8% (kumparan bisnis).

Kedua, pemerataan manfaat pembangunan menjadi sangat penting di tengah ketidakmerataan global antara negara maju dan berkembang serta dalam masyarakat negeri sendiri. Ketimpangan sosial dan ekonomi dapat memicu ketidakstabilan politik dan sosial. Pilar pemerataan dalam Sumitronomics merespon hal ini dengan penekanan pada pembangunan desa, Koperasi Desa, UMKM, subsidi sosial, perlindungan sosial, dan sektor-sektor bernilai tambah tinggi yang bisa menyerap banyak tenaga kerja (Investing.com Indonesia).

Ketiga, stabilitas nasional yang dinamis, berupa kemampuan menjaga keamanan, sosial, politik, dan makroekonomi agar tetap terkendali, dan tetap responsif terhadap perubahan. Dengan gejolak pasar keuangan internasional, tekanan inflasi impor, dan fluktuasi kurs, stabilitas menjadi fondasi agar kebijakan pro-pertumbuhan dan pemerataan tidak justru menimbulkan disrupsi yang berbahaya (Suara Merdeka).

Konsep Sumitronomics sangat menarik karena mengadopsi nasionalisme ekonomi dan dorongan industrialisasi, termasuk perlindungan kepentingan domestik, sesuai kebutuhan berbagai negara berkembang saat ini dalam menghadapi tekanan global, perang dagang, dan kompetisi rantai pasok global (TvOne News).

Kelemahan dan Risiko Pelaksanaan Sumitronomics

Meskipun mempunyai banyak kekuatan, Sumitronomics juga mempunyai sejumlah kelemahan dan risiko, terutama jika di dalam pelaksanaannya tidak dilakukan dengan kehati-hatian yang sangat tinggi. Sejumlah kelemahan inheren muncul ketika Sumitronomics dihadapkan pada kondisi geopolitik dan ekonomi global yang berubah cepat.

Pertama, target ambisius pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu tidak terlalu lama berisiko bila diimplementasikan tanpa penyesuaian struktural akibat ekonomi global yang menghadapi stagflasi tekanan suku bunga, perlambatan di beberapa pasar besar, dan ketidakpastian investasi internasional berupa faktor-faktor yang membatasi kemampuan ekspansi berbiaya rendah dan meningkatkan kemungkinan defisit eksternal atau tekanan inflasi ketika permintaan domestik naik tajam tanpa peningkatan produksi domestik yang sepadan. Analisis ini konsisten dengan diskusi umum tentang batasan politik moneter dan fiskal dalam kondisi global yang volatile termuat dalam buku "The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations" ditulis oleh Daniel Yergin pemenang Pulitzer Prize.

Kedua, fragilitas rantai pasok global mengubah cara negara harus merancang strategi pertumbuhan. Buku-buku dan kajian terbaru menyoroti bahwa model produksi "just-in-time" dan konsentrasi produksi di lokasi tertentu membuat kompleksitas dan kerentanan, seperti gangguan pandemi dan geopolitik memaksa negara serta perusahaan untuk berpikir ulang soal diversifikasi, cadangan strategis, dan hilirisasi. Bila Sumitronomics mengandalkan ekspansi sektor tertentu tanpa memperkuat ketahanan rantai pasok dan kapasitas substitusi impor, pertumbuhan bisa terhambat oleh kekurangan input strategis. (The Guardian).

Ketiga, aspek pemerataan yang diusung memerlukan kualitas institusi dan kapasitas administrasi yang tinggi. Literatur ketimpangan modern juga menunjukkan bahwa redistribusi dan kebijakan sosial efektif membutuhkan desain fiskal yang cermat, sistem pajak progresif yang sehat, dan investasi besar pada sumber daya manusia bukan sekadar transfer fiskal jika manfaatnya ingin bertahan. Studi-studi tentang ketimpangan menekankan bahwa keputusan politik membentuk hasil distribusi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomis (The Guardian). Pemerataan pembangunan memerlukan lembaga yang kuat, distribusi infrastruktur dan pelayanan publik yang merata, sumber daya manusia yang memadai, serta sistem administratif dan regulasi yang mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Jika kapasitas pemerintah atau daerah lemah, atau jika koordinasi pemerintahan pusat-daerah tidak efektif, maka pemerataan bisa terhambat. Selain itu, ada risiko bahwa intervensi yang terlalu proteksionis bisa menimbulkan distorsi atau menghambat inovasi bila tidak diimbangi efisiensi dan insentif pasar.

Keempat, stabilitas nasional yang dinamis memerlukan kesiapan terhadap berbagai kejutan di berbagai aspek terkait dengan ekonomi (misalnya fluktuasi komoditas, krisis keuangan global), iklim geopolitik (perang dagang, perubahan aliansi, sanksi), perubahan iklim dan bencana, dampak digitalisasi dan disrupsi teknologi. Kebijakan fiskal yang ekspansif bisa memperburuk posisi neraca pembayaran, nilai tukar, dan mendorong inflasi jika impor bahan baku meningkat dan tidak diimbangi produksi domestik yang kuat. Deregulasi dan percepatan investasi membawa manfaat, tapi juga risiko korupsi, ketimpangan, pengabaian aspek lingkungan atau sosial jika kontrol dan pengawasan lemah.

Sumitronomics "RARA" (Responsive, Agile, Resilence, Adaptive)

Sumitronomics dapat dikembangkan menjadi lebih responsive, agile, resilence, dan adaptive sehingga tahan guncangan berdasarkan beberapa panduan praktis literatur terbaru dari ketahanan ekonomi global, geopolitik energi, dan strategi rantai pasok yang dapat diintegrasikan sebagai arah kebijakan ekonomi dalam pelaksanaannya.

Memasukkan agenda transisi hijau (green growth) sebagai pilar fungsional. Bukti dan kebijakan internasional (termasuk rekomendasi World Bank dan penelitian tentang green growth) menunjukkan bahwa dekarbonisasi dan investasi energi terbarukan bukan hanya kewajiban lingkungan tetapi juga peluang ekonomi untuk menciptakan industri baru, lapangan kerja berketerampilan, dan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga energi impor. Menjadikan keberlanjutan sebagai mesin pertumbuhan meningkatkan akses pasar asing yang semakin mensyaratkan standar ESG. Sumitronomics perlu memasukkan secara kuat agenda pembangunan yang ramah lingkungan, energi bersih, pengurangan emisi, adaptasi iklim sebagai pilar tersendiri atau sebagai bagian dari stabilitas nasional dan pemerataan. Dengan tekanan global terhadap ESG (environment, social, governance) dan komitmen internasional terhadap perubahan iklim, Indonesia harus memposisikan sektor energi terbarukan, pengelolaan hutan, perlindungan lingkungan sebagai bagian dari mesin pertumbuhan dan pemerataan manfaat.

Memperkuat resiliensi rantai pasok dan hilirisasi strategis. Hasil temuan penelitian tentang supply-chain resilience merekomendasikan kombinasi diversifikasi sumber, pengembangan kapasitas lokal untuk komponen strategis, dan inventaris/ buffer untuk komoditas kritis. Kebijakan fiskal dan insentif investasi perlu diarahkan ke sektor hilir yang menambah nilai serta ke penguatan manufaktur komponen strategis. Ini menurunkan risiko gangguan eksternal terhadap target pertumbuhan (SpringerLink). Krisis global dan konflik geopolitik telah menyoroti betapa rapuhnya ketergantungan impor bahan pokok atau energi. Sumitronomics harus menekankan strategi diversifikasi supply chain, hilirisasi industri, kemampuan substitusi impor, dan investasi di sektor strategis pangan, energi, serta sumber daya kritis. Hal ini mendukung stabilitas nasional dan pertumbuhan tinggi.

Membangun kapasitas institusional dan tata kelola. Pemerataan memerlukan data yang baik, mekanisme transfer fiskal yang adil, pengawasan anti korupsi, serta pengelolaan proyek publik yang berbasis outcome. Literature on resilience dan pengembangan wilayah menunjukkan bahwa memperkuat Pemerintah Daerah, memperjelas kewenangan, dan digitalisasi layanan akan meningkatkan efektivitas program pemerataan (MDPI). Agar pemerataan dan stabilitas bisa dicapai dengan baik, perlu memperkuat lembaga pemerintah di pusat dan daerah, memperjelas pembagian tugas dan pengawasan, meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Deregulasi harus diimbangi dengan kontrol yang efektif. Investasi publik (infrastruktur, teknologi, pendidikan) harus dirancang dengan kualitas tinggi dan keberlanjutan.

Fleksibilitas kebijakan makro dan respon buffer fiskal yang cepat. Mengadopsi kerangka fiskal yang memungkinkan buffer/ cadangan untuk krisis, mekanisme stabilisasi nilai tukar, dan kebijakan moneter yang responsif terhadap inflasi-impor akan membantu menjaga stabilitas tanpa mengorbankan investasi produktif jangka menengah. Kajian tentang resiliensi makro merekomendasikan pengelolaan utang yang berhati-hati dan diversifikasi pembiayaan (DCED -). Moneter, fiskal, dan kebijakan nilai tukar harus mampu menyesuaikan dengan guncangan eksternal. Contohnya: menyiapkan mekanisme cadangan fiskal, buffer nilai tukar, kebijakan suku bunga yang adaptif, proteksi terhadap arus modal jangka pendek yang spekulatif, serta manajemen risiko utang luar negeri.

Mendorong transformasi digital dan inovasi. Investasi pada R&D, akselerasi digitalisasi UMKM, dan program pelatihan SDM untuk kecakapan digital/teknologi tinggi akan membuat perekonomian lebih produktif dan lebih mampu memanfaatkan peluang global baru (contoh: AI, manufaktur presisi, layanan digital). Literatur sektor menekankan peran digitalisasi dalam meningkatkan daya tahan dan inklusi ekonomi (MDPI). Pemerintah dapat membuat kebijakan dengan memberikan insentif untuk R&D, startup, transformasi digital UMKM, pendidikan teknologi, dan adopsi teknologi ramah lingkungan. Hal ini akan mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan daya saing dalam ekonomi global yang sangat cepat berubah.

Memperkuat kerjasama Internasional. Indonesia tidak bisa sendirian dalam menghadapi masalah global seperti perubahan iklim, rantai pasok, teknologi, dan keamanan. Kerja sama dengan negara lain dan organisasi internasional dalam perdagangan, standar lingkungan, teknologi, investasi infrastruktur lintas batas (connectivity) penting. Hal ini juga bisa membuka pasar baru dan menarik investasi asing yang berkualitas.

Memprioritaskan Sektor Strategis dan UMKM.  Meskipun fokus pada sektor bernilai tambah tinggi sudah disebutkan, penting memperjelas prioritas yang menggabungkan sektor-padat karya, sektor yang memicu linkages ke sektor lain (industri, pengolahan, manufaktur ringan), serta penyediaan peluang untuk UMKM agar bisa naik kelas. Kebijakan pembiayaan, digitalisasi, akses pasar, dan kapasitas SDM harus diperkuat.

Membuat kebijakan sosial dan pembangunan manusia. Pendidikan, kesehatan, pelatihan vokasional, pengembangan kapasitas tenaga kerja harus diprioritaskan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya menghasilkan output tinggi tetapi juga manusia yang siap bekerja dalam ekonomi yang berubah cepat. Ini terkait erat dengan pemerataan manfaat pembangunan.

Konsep Sumitronomics sebagai kerangka normatif memiliki landasan yang kuat dan relevan dalam menghadapi kondisi global saat ini, terutama kebutuhan akan pertumbuhan yang kuat, sekaligus pemerataan, dan stabilitas. Akan tetapi, untuk bisa mewujudkan target-ambisinya tanpa menimbulkan risiko besar, perlu adaptasi yang cermat dengan memasukkan aspek; keberlanjutan, fleksibilitas kebijakan, penguatan institusi, dan kesiapan menghadapi guncangan eksternal. Jika tidak, Sumitronomics bisa menjadi retorika ambisi tanpa cukup daya tahan di dalam pelaksanaannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun