Ketiga, aspek pemerataan yang diusung memerlukan kualitas institusi dan kapasitas administrasi yang tinggi. Literatur ketimpangan modern juga menunjukkan bahwa redistribusi dan kebijakan sosial efektif membutuhkan desain fiskal yang cermat, sistem pajak progresif yang sehat, dan investasi besar pada sumber daya manusia bukan sekadar transfer fiskal jika manfaatnya ingin bertahan. Studi-studi tentang ketimpangan menekankan bahwa keputusan politik membentuk hasil distribusi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomis (The Guardian). Pemerataan pembangunan memerlukan lembaga yang kuat, distribusi infrastruktur dan pelayanan publik yang merata, sumber daya manusia yang memadai, serta sistem administratif dan regulasi yang mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Jika kapasitas pemerintah atau daerah lemah, atau jika koordinasi pemerintahan pusat-daerah tidak efektif, maka pemerataan bisa terhambat. Selain itu, ada risiko bahwa intervensi yang terlalu proteksionis bisa menimbulkan distorsi atau menghambat inovasi bila tidak diimbangi efisiensi dan insentif pasar.
Keempat, stabilitas nasional yang dinamis memerlukan kesiapan terhadap berbagai kejutan di berbagai aspek terkait dengan ekonomi (misalnya fluktuasi komoditas, krisis keuangan global), iklim geopolitik (perang dagang, perubahan aliansi, sanksi), perubahan iklim dan bencana, dampak digitalisasi dan disrupsi teknologi. Kebijakan fiskal yang ekspansif bisa memperburuk posisi neraca pembayaran, nilai tukar, dan mendorong inflasi jika impor bahan baku meningkat dan tidak diimbangi produksi domestik yang kuat. Deregulasi dan percepatan investasi membawa manfaat, tapi juga risiko korupsi, ketimpangan, pengabaian aspek lingkungan atau sosial jika kontrol dan pengawasan lemah.
Sumitronomics "RARA" (Responsive, Agile, Resilence, Adaptive)
Sumitronomics dapat dikembangkan menjadi lebih responsive, agile, resilence, dan adaptive sehingga tahan guncangan berdasarkan beberapa panduan praktis literatur terbaru dari ketahanan ekonomi global, geopolitik energi, dan strategi rantai pasok yang dapat diintegrasikan sebagai arah kebijakan ekonomi dalam pelaksanaannya.
Memasukkan agenda transisi hijau (green growth) sebagai pilar fungsional. Bukti dan kebijakan internasional (termasuk rekomendasi World Bank dan penelitian tentang green growth) menunjukkan bahwa dekarbonisasi dan investasi energi terbarukan bukan hanya kewajiban lingkungan tetapi juga peluang ekonomi untuk menciptakan industri baru, lapangan kerja berketerampilan, dan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga energi impor. Menjadikan keberlanjutan sebagai mesin pertumbuhan meningkatkan akses pasar asing yang semakin mensyaratkan standar ESG. Sumitronomics perlu memasukkan secara kuat agenda pembangunan yang ramah lingkungan, energi bersih, pengurangan emisi, adaptasi iklim sebagai pilar tersendiri atau sebagai bagian dari stabilitas nasional dan pemerataan. Dengan tekanan global terhadap ESG (environment, social, governance) dan komitmen internasional terhadap perubahan iklim, Indonesia harus memposisikan sektor energi terbarukan, pengelolaan hutan, perlindungan lingkungan sebagai bagian dari mesin pertumbuhan dan pemerataan manfaat.
Memperkuat resiliensi rantai pasok dan hilirisasi strategis. Hasil temuan penelitian tentang supply-chain resilience merekomendasikan kombinasi diversifikasi sumber, pengembangan kapasitas lokal untuk komponen strategis, dan inventaris/ buffer untuk komoditas kritis. Kebijakan fiskal dan insentif investasi perlu diarahkan ke sektor hilir yang menambah nilai serta ke penguatan manufaktur komponen strategis. Ini menurunkan risiko gangguan eksternal terhadap target pertumbuhan (SpringerLink). Krisis global dan konflik geopolitik telah menyoroti betapa rapuhnya ketergantungan impor bahan pokok atau energi. Sumitronomics harus menekankan strategi diversifikasi supply chain, hilirisasi industri, kemampuan substitusi impor, dan investasi di sektor strategis pangan, energi, serta sumber daya kritis. Hal ini mendukung stabilitas nasional dan pertumbuhan tinggi.
Membangun kapasitas institusional dan tata kelola. Pemerataan memerlukan data yang baik, mekanisme transfer fiskal yang adil, pengawasan anti korupsi, serta pengelolaan proyek publik yang berbasis outcome. Literature on resilience dan pengembangan wilayah menunjukkan bahwa memperkuat Pemerintah Daerah, memperjelas kewenangan, dan digitalisasi layanan akan meningkatkan efektivitas program pemerataan (MDPI). Agar pemerataan dan stabilitas bisa dicapai dengan baik, perlu memperkuat lembaga pemerintah di pusat dan daerah, memperjelas pembagian tugas dan pengawasan, meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Deregulasi harus diimbangi dengan kontrol yang efektif. Investasi publik (infrastruktur, teknologi, pendidikan) harus dirancang dengan kualitas tinggi dan keberlanjutan.
Fleksibilitas kebijakan makro dan respon buffer fiskal yang cepat. Mengadopsi kerangka fiskal yang memungkinkan buffer/ cadangan untuk krisis, mekanisme stabilisasi nilai tukar, dan kebijakan moneter yang responsif terhadap inflasi-impor akan membantu menjaga stabilitas tanpa mengorbankan investasi produktif jangka menengah. Kajian tentang resiliensi makro merekomendasikan pengelolaan utang yang berhati-hati dan diversifikasi pembiayaan (DCED -). Moneter, fiskal, dan kebijakan nilai tukar harus mampu menyesuaikan dengan guncangan eksternal. Contohnya: menyiapkan mekanisme cadangan fiskal, buffer nilai tukar, kebijakan suku bunga yang adaptif, proteksi terhadap arus modal jangka pendek yang spekulatif, serta manajemen risiko utang luar negeri.
Mendorong transformasi digital dan inovasi. Investasi pada R&D, akselerasi digitalisasi UMKM, dan program pelatihan SDM untuk kecakapan digital/teknologi tinggi akan membuat perekonomian lebih produktif dan lebih mampu memanfaatkan peluang global baru (contoh: AI, manufaktur presisi, layanan digital). Literatur sektor menekankan peran digitalisasi dalam meningkatkan daya tahan dan inklusi ekonomi (MDPI). Pemerintah dapat membuat kebijakan dengan memberikan insentif untuk R&D, startup, transformasi digital UMKM, pendidikan teknologi, dan adopsi teknologi ramah lingkungan. Hal ini akan mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan daya saing dalam ekonomi global yang sangat cepat berubah.
Memperkuat kerjasama Internasional. Indonesia tidak bisa sendirian dalam menghadapi masalah global seperti perubahan iklim, rantai pasok, teknologi, dan keamanan. Kerja sama dengan negara lain dan organisasi internasional dalam perdagangan, standar lingkungan, teknologi, investasi infrastruktur lintas batas (connectivity) penting. Hal ini juga bisa membuka pasar baru dan menarik investasi asing yang berkualitas.
Memprioritaskan Sektor Strategis dan UMKM. Â Meskipun fokus pada sektor bernilai tambah tinggi sudah disebutkan, penting memperjelas prioritas yang menggabungkan sektor-padat karya, sektor yang memicu linkages ke sektor lain (industri, pengolahan, manufaktur ringan), serta penyediaan peluang untuk UMKM agar bisa naik kelas. Kebijakan pembiayaan, digitalisasi, akses pasar, dan kapasitas SDM harus diperkuat.