Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laki-laki Luka

30 September 2021   06:53 Diperbarui: 30 September 2021   07:14 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu selalu saja begitu. Ingin kuhancurkan seluruh hidupmu. Ya, kuhancurkan. Hingga luka ini terbayarkan lunas. 

Kata-kata itu cuma bisa kutuliskan di sesobek kertas yang kemudian kubakar pelan-pelan. Karena pada ujung semuanya, aku pasti akan terpuruk juga. 

Fotomu masih rapi kusimpan. Tak ada yang bisa kubuang. Salah satunya aku taruh di atas tulisan yang kemudian ku robek itu. Biar semua orang tahu. Biar semua orang tak ada lagi yang mencemooh ku. 

Benar. Semuanya benar. 

Aku yang cengeng. Aku yang terlalu mrncintaimu. Hingga luka ini menjadi terlalu dalam. Terlalu menukik. 

Padahal kamu memang begitu. Dan akan selalu begitu. Aku juga paham kalau kamu akan begitu, begitu, dan begitu. 

Kamu juga sudah berkali-kali bilang begitu. Tak bisa berubah menjadi orang lain. Demi apa pun. Termasuk di dalamnya:  C I I N T A. 

Pagi ini, entah kenapa, kulihat sepotong kenangan terburu buru masuk dalam benakku. Ia mendesak desak ingin agar aku tetap mencarimu. Menemukan mu. 

"Lalu hancurkan! Biar dia merasakan luka jua! "

Aku tak mau peduli. Aku laki-laki. Tak boleh laki-laki luka. Dan menderita hidupnya karena luka itu. 

Lagi lagi sepotong kenangan yang lain memaksaku untuk menyusuri lorong lorongnya. Gelap. Gelap sekali. 

Terlalu banyak luka sehingga aku cuma bisa berjalan pelan untuk menghindari luka demi luka yang tampak menganga. Beberapa kali aku tetap terjerembab dalam luka yang tak mungkin aku lompati karena terlalu lebar bentuknya. Aku bangun dan berjalan kembali. Aku laki-laki. 

Aku tak boleh menyerah. 

"Kamu kenapa lagi? " terdengar sebuah suara yang sudah terlalu akrab di telinga. 

Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu.  Aku masih bingung dengan diriku sendiri. 

"Jangan lagi kamu pikirkan dia. Dia memang begitu. Sedangkan kamu kan laki-laki. Masa mau bunuh diri? "

Lagi lagi suara yang sudah begitu akrab di telinga itu seakan menurutku.  Dan tuduhan itu tepat sekali menusuk di salah satu luka yang belum kering benar. Rasanya menjadi begitu nyeri. 

Aku ingin memberontak. Tapi tangan dan kaki tak bisa ku gerakan sama sekali. 

Sebuah bayangan terlihat samar. Putih. Seperti seorang perawat rumah sakit. 

Mungkinkah aku di rumah sakit jiwa? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun