Lagi lagi sepotong kenangan yang lain memaksaku untuk menyusuri lorong lorongnya. Gelap. Gelap sekali.Â
Terlalu banyak luka sehingga aku cuma bisa berjalan pelan untuk menghindari luka demi luka yang tampak menganga. Beberapa kali aku tetap terjerembab dalam luka yang tak mungkin aku lompati karena terlalu lebar bentuknya. Aku bangun dan berjalan kembali. Aku laki-laki.Â
Aku tak boleh menyerah.Â
"Kamu kenapa lagi? " terdengar sebuah suara yang sudah terlalu akrab di telinga.Â
Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Â Aku masih bingung dengan diriku sendiri.Â
"Jangan lagi kamu pikirkan dia. Dia memang begitu. Sedangkan kamu kan laki-laki. Masa mau bunuh diri? "
Lagi lagi suara yang sudah begitu akrab di telinga itu seakan menurutku. Â Dan tuduhan itu tepat sekali menusuk di salah satu luka yang belum kering benar. Rasanya menjadi begitu nyeri.Â
Aku ingin memberontak. Tapi tangan dan kaki tak bisa ku gerakan sama sekali.Â
Sebuah bayangan terlihat samar. Putih. Seperti seorang perawat rumah sakit.Â
Mungkinkah aku di rumah sakit jiwa?Â