Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Aktif sekaligus pasif bermanifesto, bermalas-malasan, dan memecahkan misteri. Selebihnya, pembebas dari sebuah ketiadaan, tanpa awalan dan akhiran. Kontak saya di @mochamad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kaum Pekerja yang Kurang Berefleksi dan Privilege Ekonomi.

9 September 2020   02:38 Diperbarui: 25 Juli 2021   19:11 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: M.Iqbal.M


Kapitalisme-lanjut/maju membuat manusia teralienasi tidak hanya dari segi ekonomi, melainkan juga dari segi psikologi-sosial-kultural.

Karenanya, siapapun yang sok mempersoalkan privilege ekonomi akan terkesan konyol jika tidak mengikutinya atau mengaitkannya dengan persoalan privilege psikologis.

Dapat kita identifikasi bahwa orang-orang yang semacam itu ialah orang yang kurang berefleksi, mereka sekedar tau soal kepuasan diri (terkadang sedikit tau soal aktivisme kemanusiaan) dengan semboyan kerja, kerja, kerja, hingga apa yang ada di dalam otak dan kejiwaan mereka hanyalah berupa representasi dari commodity fetishism dan simulacrum yang diciptakan oleh faktor eksternal dilingkungan sekitar yang mereka hidupi secara dekaden.

Apakah orang-orang/para pekerja yang kurang berefleksi (dan seringkali gemar/candu terhadap berkerumun) tersebut dapat menimbulkan gelombang revolusi komunal humanis dengan merangkap menjadi kerumunan aktivis kemanusiaan ?, entahlah, revolusi diri saja belum bisa, apalagi revolusi sosial ?, yang ada nantinya justru transformasi sosial menuju kepada kehancuran yang lebih buruk daripada sebelumnya.

Jika membuat "revolusi" (action for revolution) saja tak bisa, maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka tidaklah sanggup untuk membuat sebuah pemberontakan metafisis (rebellion act for freedom metapsychics) yang diperlukan personal manusia secara organik. Itu artinya, upaya mereka adalah upaya yang sia-sia, lantaran sejak awal mereka sudah gagal ditataran psikis dan pola pikir (fisio-psikologis) tentang perubahan sosialisme, ataupun pemberontakan sosialisme-libertarian.

Tentu saja, uraian ini menyatakan bahwa fetisisme komoditas dan simulakra yang tidak kasat mata tidaklah hanya menginfeksi para highclass, melainkan jugalah dapat menyerang para pekerja, buruh, kaum underclass atau proletar. Serta menyatakan bahwa revolusi sosial tidak dapat terjadi jika masih ada individu yang tidak merevolusi diri sendiri dengan berefleksi, pun masih terburu-buru sekaligus secara serampangan mendiskreditkan orang lain dengan menggunakan dogma-dogma perlawanan yang tidak relevan dan kontekstual.

Meskipun demikian, tujuan utama dari uraian ini ialah untuk memantik kesadaran setiap individu agar tidak gegabah dalam membangga-banggakan diri sebagai seorang pekerja yang sengsara atau aktivis yang progresif. Supaya, mau mengoreksi diri sendiri dengan cara membiasakan diri untuk berefleksi sebelum terburu mencerca atau menghitam-putihkan kehidupan personal sekaligus privilege ekonomi-psikologis orang lain yang berbeda-beda secara dinamika mikro, makro dan metakosmis. Berefleksi, repetisi, dan reevaluasi adalah hal penting bagi manusia yang ingin menjadi manusia yang seutuhnya.

Jadi, hendaknya kita dapat melihat persoalan privilege secara jernih, luas, dan bijaksana, dengan menjadi pribadi yang senantiasa berefleksi tanpa termakan oleh kehendak kuasa (will to power) yang dihendaki secara naif, serupa balita tapi berlagak perkasa dengan mempertunjukan kesengsaraan dan keperkasaannya demi mendapatkan permen lolipop berukuran sangat besar yang teramat nikmat.

Maka, kalau kata Nietzsche: berhati-hatilah dengan setiap langkah dan lintasanmu, dan tidak lupa dengan pameo klasik yang masih relevan berikut ini; "Kebebasan tanpa sosialisme adalah barbarisme, sosialisme tanpa kebebasan adalah penindasan dan penjajahan".

Sebagai penutup, saya akan memberikan penggalan kalimat dari sebuah buku, yang sudah saya terjemahkan secara bebas dibawah ini:

Aktivisme seringkali menyerupai fase manik dari gangguan bi-polar[…]dan akhirnya hanya memperkuat ilusi ketidakberdayaan[…]cukup masuk akal untuk mendedikasikan diri pada tujuan jangka pendek, sebab merengkuh semuanya hanya akan berbuah kekecewaan. Kami adalah pendamba ketiadaan-sindikalis di dunia kerja, ketiadaan-hijau di hutan, ketiadaan-sosial dalam komunitas, ketiadaan-egoistik ketika organisasi hendak menegasikan individualitas, ketiadaan-kumune ketika ada sesuatu untuk dibagikan, dan ketiadaan-yang akan menerkam secara berhati-hati sekaligus tak terduga ketika pasifisme sudah teramat tak tertahankan”.

*Beberapa referensi bacaan.

Post-Anarkisme - Lewiss Call
Anarkisme - Sean M.Sean
Dessert - Anonym
Abolish of Work- Bob Black
Hak Untuk Malas - Paul Lafargue
Aku Bukan Manusia, Aku Dinamit!, Nietzsche dan Tradisi Anarkis - John More & Spencer Sushine.
On The Fetish - Teodore Adorno
Discipline and Punish - Michel Foucault
Anti-Oedipus - Deleuze Guattari
Dan masih banyak lagi risalah-risalah berunsur sosialisme-libertarian yang menarik untuk ditelusuri sekaligus direnungi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun