Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hentikan Kastanisasi Pendidikan di Indonesia

22 November 2011   01:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:22 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berbicara pendidikan, khususnya di Indonesia, kita akan menyinggung banyak aspek yang terkait. Aspek-aspek yang berhubungan dengan ranah pendidikan memang sangat banyak, tidak hanya tentang persekolahan dan manajemennya, namun tetek mbengek lain yang juga akan menerempet dan bersinggungan dengan pendidikan. Masalah-masalah yang bermuara pada bidang pendidikan, baik yang disadari oleh kita semua atau tidak harus menjadi fokus kita semua. Kita tidak ingin pemerataan pendidikan di Indonesia itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, apalagi hanya orang-orang yang berkesempatan secara ekonomi atau membayar mahal pendidikan itu. Ambil saja beberapa contoh kesenjangan pendidikan yang saat ini begitu jelas terlihat adalah terciptanya kasta pendidikan di dalam masyarakat. Misalnya, Ujian Nasional, ujian nasional itu diperuntukkan untuk semua siswa yang memang ditargetkan menghadapinya. Mereka baik di kota atau di desa, di daerah yang telah ramai atau di pelosok daerah yang belum tersentuh listrik, bukan mereka yang berkantong tebal atau yang tipis, bukan pula hanya anak pegawai yang mendapatkan gaji setiap bulan namun pula kaum papa yang ingin anaknya mengenyam pendidikan. Kastanisasi pendidikan dalam bagian ini adalah dengan merebaknya bimbingan belajar di luar kelas. Orang-orang yang dipastikan lulus adalah orang-orang yang bergabung dengan bimbingan belajar. Orang miskin yang tidak mampu mengikuti bimbingan belajar akan banyak kendala untuk dapat lulus ujian. Tentunya kenyataan ini sungguh bertolak belakang dengan mereka yang mampu membayar mahal biaya bimbingan belajar. Mereka bisa hampir setiap hari belajar mata pelajaran yang sudah dipelajari di sekolah. Secara berulang pula mereka akan berlatih dan dipandu untuk mengerjakannya. Belum lagi, banyak tempat bimbingan belajar yang adigang adigung adiguna akan mengembalikan semua biaya belajar. Sungguh aneh, memang. Pendidikan (baca: kelulusan UN atau SPMB) hanya akan dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal. Kita tidak pernah membayangkan jutaan siswa di seluruh Indonesia, atau dipelosok yang harus menghadapi UN atau SPMB dengan soal yang sama, namun dengan persiapan yang jauh berbeda. Sudah menjadi rahasia umum memang, bahwa UN itu adalah proyek yang bernilai trilyunan. Sehingga banyak kalangan yang menduga bahwa ada kongkalingkong antara bimbel-bimbel itu dengan Departemen Pendidikan. Memang sinyalemen ini harus diteliti dan dibuktikan, betulkah bimbel-bimbel itu secara manajemen memiliki hubungan yang mesra dengan pemerintah. Sekali lagi ini perlu dibuktikan. Kasta-kasta yang meminggirkan rakyat kecil memang sangat banyak. Contoh lain misalnya kasus SBI dan RSBI yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Ada yang begitu kritis menengarai peran RSBI ini, ada juga yang begitu getol mempertahankan. Toh kita lihat dan kita dengar, hingga saat ini belum ada RSBI melaju seperti yang diharapkan. Sungguh ironi lagi, apabila ada orang tua siswa yang bersikeras sekolah putranya harus menjadi RSBI, sehingga mereka memaksa mengumpulkan dana untuk menyokong fasilitas sekolah. Beberapa daerah telah menggratiskan biaya pendidikan dari SD hingga SMP adalah perwujudan komitmen undang-undang. Namun bukan berarti gratis itu juga kualitas output tidak diperhatikan, hal itu harus menjadi motivasi para guru dan pendidik untuk terus memperbaiki kualitas pengajarannya. Bukan malah menggalakkan les di rumah guru atau di luar yang lebih berorientasi uang dari pada kualitas. Dalam kasus terakhir ini, sering terdengar keluhan siswa bahwa antara yang les ke rumah guru dan yang tidak pun, akan senjang dalam nilai ulangan. Karena kabarnya, soal-soal ulangan yang diteskan di sekolah telah dibahas di les di rumah guru. Harapan kita semua pendidik dan sekolah mampu bertindak objektif dan terus memposisikan pada posisi yang seharusnya. Kebijakan sertifikasi guru adalah justifikasi bahwa guru yang mendapatkan sertifikat itu mampu melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian tiang pancang pada diri guru, harus diperkuat untuk kualitas pendidikan Indonesia yang tidak berpihak. Pendidik dan kita semua harus pula terus terlibat dalam pembangunan pendidikan. Oleh karena pendidikan adalah bagian dari amanah undang-undang itulah, kritisisasi pendidikan baik pada lingkup mikro maupun makro harus terus didengungkan. Tentu pihak-pihak yang mengkritisi adalah kita semua baik sebagai subyek maupun objek pendidikan. Hal itu sangat penting untuk minimal sekedar reminding bahwa pendidikan itu memang proyek pemerintah untuk seluruh rakyat bukan hanya proyek pemerintah untuk kaum yang berduit saja. Pemerintah secara tegas telah megaskan dalam poin c, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan bersesinambungan. Maka dari itu, sudah semestinya semua individu atau kita semua harus terus berusaha untuk melakukan pembenahan pendidikan itu agar tujuan undang-undang itu dapat diwujutkan. Mungkin orang-orang yang tidak bergelut dibidang pendidikan perkara-perkara seperti itu hanya sebuah remeh temeh dan tidak perlu dimasalahkan, namun sejatinya itulah sebetulnya makna pendidikan yang berbasis rakyat. Dikatakan berbasis rakyat, karena inti dari pendidikan itu adalah pengembangan karakter bangsa itu sendiri. Maka dari itu, riak-riak pendidikan baik yang berakibat pada tidak meratanya pendidikan atau keberpihakan pendidikan harus segera diminimalisir. Bimbingan Belajar (BIMBEL) kalau telah berorientasi pada ketidakadilan pendidikan pun juga sebaiknya ditiadakan dan segera dievaluasi kembali. Dengan demikian amanah undang-undang itu dapat diwujudkan, demi majunya pendidikan Indonesia secara umum, bukan dominasi orang-orang yang berkantong tebal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun