Mohon tunggu...
Mo Meimus
Mo Meimus Mohon Tunggu... Freelance engineer, freelance teacher, freelance writer. -

Pseudonym of Utomo Priyambodo. Seorang pemalu, tapi tidak suka memukul dengan palu. Tidak suka dianggap sebagai pengarang, apalagi pembuat arang. Email: mo.meimus@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunuh Diri dari Atas Menara Masjid

30 Oktober 2016   10:43 Diperbarui: 30 Oktober 2016   12:11 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar diilustrasikan oleh: Rio Satrio H.)

Tidak ada seorang pun yang pernah menyangka bahwa akan ada orang yang bunuh diri dari atas menara masjid. Berita tentang orang yang melompat dari menara sutet sudahlah biasa. Kabar tentang orang yang terjun bebas dari lantai teratas gedung-gedung publik seperti apartemen, hotel, mall, kampus juga sudah umum.

Memang masjid juga merupakan tempat umum. Tapi untuk bunuh diri? Orang macam apa yang cukup gila untuk melakukan hal itu? Tapi bukankah orang-orang yang bunuh diri memang sering dianggap gila? Atau setidaknya kata “depresi” akan melekat pada kematian mereka.

Bunuh diri dari atas menara masjid? Hanya Tarmujo yang nekad melakukannya. Ironis. Lelaki muda yang sehari-hari bekerja sebagai marbut alias penjaga masjid itu justru meninggal dengan cara yang tidak elok di lingkungan masjid tempat ia mengabdikan diri, di tempat ibadah, di rumah Tuhan, di tempat yang disucikan.

Darah yang muncrat dari tubuh Tarmujo menyisakan noda-noda merah di sekitar masjid. Banyak jamaah bersepakat bahwa darah Tarmujo telah menodai kesucian masjid dan harus segera dibersihkan dengan air kembang tujuh rupa yang wangi. Sebagian orang bersepakat sudahlah cukup dan justru jauh lebih praktis membersihkannya dengan air karbol saja, yang terbukti ilmiah sebagai cairan pembersih sanggup menghilangkan merah dan amis darah selekasnya. Apalagi air kembang tujuh rupa identik dengan syirik.

Sehari sebelumnya Tarmujo masih terlihat ceria, setidaknya tidak ada kesan duka yang tampak membayang di wajahnya. Orang-orang yang kemarin bertemu Tarmujo sepakat dalam suara yang sama: tidak tampak pertanda Tarmujo sedang sedih ataupun murung. Semua orang memikirkan pertanyaan yang sama: Ada masalah apa dengan Tarmujo? Kenapa subuh tadi ia nekad bunuh diri?

Kadir, rekan Tarmujo sesama marbut di masjid yang sama, tak henti-hentinya berzikir dan menarik napas menahan tangis ketika menyaksikan tubuh Tarmujo yang telah terbujur kaku. Sebelum dibawa ke kamar mayat rumah sakit umum daerah ini, tubuh Tarmujo penuh oleh lumuran darah. Beberapa tulang dada dan iganya patah dan remuk. Kini ia telah dibersihkan dan diautopsi. Namun, meskipun telah bersih dari darah, Kadir bisa melihat dada Tarmujo yang remuk dan penuh luka.

Melihat dada Tarmujo yang remuk dan penuh luka itu, Kadir teringat sesuatu. Seminggu yang lalu Tarmujo pernah curhat kepadanya bahwa hatinya remuk sebab Siti gadis pujaannya telah menikah dengan lelaki lain. Beberapa minggu yang lalu Tarmujo juga pernah curhat kepadanya bahwa Siti minta cepat-cepat dilamar, kalau tidak ia akan segera dilamar dan menikah dengan lelaki lain. Ternyata hal itu akhirnya benar terjadi.

Beberapa minggu yang lalu itu Tarmujo memang tampak gelisah di mata Kadir. Ia sering kali mengeluhkan tentang niatnya untuk menikah tapi belum memiliki uang modal yang cukup. Upah sebagai marbut hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan kurang. Bagaimana ia akan melamar Siti dan menikahinya? Biaya penghulu dan KUA kabarnya mencapai jutaan. Tarmujo akan memakai uang siapa? Tidak mungkin minta dari pihak Siti. Ke mana harga dirinya sebagai seorang laki-laki?

Tarmujo adalah seorang yatim piatu. Ibunya telah meninggal sejak ia kecil. Ayahnya juga telah menyusul ibunya dua tahun lalu akibat penyakit angin duduk. Orang-orang kedokteran mungkin akan menyebutnya sebagai serangan jantung koroner. Tarmujo anak paling bungsu. Kedua kakak perempuannya telah menikah dan hijrah ke luar pulau. Tarmujo belum pernah bertemu mereka lagi semenjak ayahnya meninggal. Sudah saling hidup sendiri-sendiri.

Agak sedih sebenarnya Tarmujo dengan keadaan itu. Ia sering kangen kepada kedua kakaknya dan keponakannya yang masih kecil-kecil. Tapi hidup masing-masing saja memang sudah begitu sulit. Lupakan soal memenuhi rasa rindu. Mencukupi kebutuhan perut sendiri pun sudah susah.

Kadir masih ingat betul kegusaran Tarmujo beberapa minggu yang lalu. Tarmujo ingin kawin, tapi ia belum punya cukup modal. Kadir beberapa kali menyarankan agar Tarmujo meminjam uang dulu saja kepada baitul mal masjid atau secara pribadi kepada beberapa bapak pengurus DKM masjid. Banyak pengurus DKM yang tampaknya adalah orang berpunya bahkan kaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun