Cara orang terhubung telah berubah secara mendasar sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai modalitas komunikasi manusia mengalami perubahan signifikan di era globalisasi yang semakin menekankan digitalisasi. Masyarakat jaringan yang bergantung pada teknologi digital untuk berkomunikasi, berkolaborasi, dan membentuk ikatan sosial telah muncul secara global sebagai hasil dari revolusi digital. Selain itu, jenis-jenis komunikasi baru yang belum memiliki norma sosial yang mapan seperti ghosting telah muncul sebagai akibat dari hal ini. Etika dan budaya kontak interpersonal telah berubah sebagai akibat dari fenomena ini, yang tidak terbatas pada Barat tetapi telah meluas ke negara-negara lain.Â
Digitalisasi juga telah mempercepat penyebaran media sosial dan aplikasi komunikasi yang secara instan dan cepat mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang. Menurut laporan We Are Social (2023), lebih dari 70% penduduk Indonesia menggunakan media sosial, yang menghadirkan peluang sekaligus tantangan dalam membangun dan mempertahankan hubungan interpersonal. Istilah "ghosting", yang pertama kali dipopulerkan di Barat, telah populer di kalangan anak muda Indonesia, mencerminkan krisis dalam cara orang menangani konflik, mengomunikasikan ketidaknyamanan, dan mengakhiri hubungan dengan cara yang sehat dan bermoral.Â
Ghosting telah menjadi fenomena yang sangat sering terjadi di tingkat lokal atau dalam kelompok-kelompok kecil, seperti lingkungan kampus. Hal ini dapat terjadi dalam konteks pertemanan, hubungan asmara, atau bahkan kerja kelompok. Karena mahasiswa adalah generasi digital native dan biasanya berkomunikasi terutama melalui saluran digital, ghosting menjadi teknik yang cepat dan "mudah" untuk menghindari konflik tatap muka. Namun, kemudahan ini sering kali meninggalkan luka emosional yang mendalam bagi korban dan menurunkan kualitas interaksi interpersonal secara umum. Hal ini menekankan betapa pentingnya komunikasi bermoral dan pendidikan karakter dalam lingkungan pendidikan tinggi.Â
Selain meresahkan secara sosial dan emosional, fenomena ini juga menimbulkan pertanyaan penting yang memiliki implikasi bagi filsafat eksistensialisme dan moral. Ghosting mengindikasikan krisis dalam penerimaan kehadiran orang lain, akuntabilitas pribadi, dan kejujuran dalam koneksi sosial, alihalih hanya menjadi tindakan menghindar. Akibatnya, penting untuk mempertimbangkan ghosting dari kerangka kerja filsafat yang lebih kritis dan introspektif, selain dari sudut pandang psikologis atau komunikasi.Â
Penelitian ini utamanya menggunakan teknik tinjauan literatur untuk menyelidiki dan mengkaji fenomena ghosting dalam konteks komunikasi digital. Pendekatan tinjauan literatur memungkinkan para peneliti untuk menganalisis berbagai sumber yang relevan, baik yang bersifat teoritis maupun empiris, guna memahami dinamika komunikasi interpersonal di era digital, khususnya yang berkaitan dengan isu ghosting. Proses pengumpulan data dilakukan melalui evaluasi komprehensif terhadap buku-buku ilmiah, laporan penelitian, jurnal akademik, dan artikel media terpercaya yang diterbitkan dalam sepuluh tahun terakhir (2013--2023). Fokus utama pencarian literatur mencakup subjek-subjek seperti digitalisasi komunikasi, hubungan interpersonal dan media sosial, fenomena ghosting, etika dan moralitas komunikasi, serta kerangka filosofis eksistensialis dalam kaitannya dengan interaksi manusia.Â
Evaluasi literatur yang dipilih berfokus pada kontribusinya dalam mengembangkan pemahaman konseptual dan kritis terhadap topik yang diteliti, serta relevansi subjek dan kredibilitas sumbernya. Fenomena ini juga dianalisis menggunakan metode interdisipliner yang menggabungkan sudut pandang dari disiplin filsafat moral, psikologi sosial, dan komunikasi. Dengan demikian, penelitian ini menekankan komponen eksistensial dan etika komunikasi digital, selain memetakan gejala ghosting dari sudut pandang teknis. Tujuan pendekatan tinjauan literatur ini adalah untuk menghasilkan sintesis ide yang menyeluruh dan dasar konseptual untuk investigasi empiris lebih lanjut. Selain itu, dengan mempertimbangkan pengalaman mahasiswa yang merupakan bagian dari generasi digital native, metode ini memungkinkan refleksi kritis terhadap nilai-nilai komunikasi moral di tengah perubahan sosial yang disebabkan oleh revolusi digital.Â
Pendekatan multidisipliner yang mencakup teori komunikasi, etika komunikasi interpersonal, dan filsafat keberadaan diperlukan untuk memahami fenomena ghosting, yang merupakan bentuk penghentian komunikasi sepihak dalam ranah digital. Dari sudut pandang komunikasi interpersonal, ghosting adalah contoh kegagalan untuk berkomunikasi secara jujur dan bertanggung jawab. Sari (2021) menegaskan bahwa komunikasi interpersonal yang konstruktif membutuhkan umpan balik, akuntabilitas emosional kepada pihak lain, dan kejelasan pesan. Ghosting adalah penyangkalan terhadap proses komunikasi dua arah yang bermoral di mana pelaku menghilang tanpa memberikan penjelasan. Tindakan ghosting dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap norma sosial dan moral dalam kontak antar manusia dari sudut pandang etika komunikasi. Menurut Hidayat dan Ramdhani (2020), cita-cita sosial seperti kesopanan, empati, dan harmoni sosial adalah komponen penting dalam komunikasi interpersonal di budaya Timur seperti Indonesia. Dalam situasi ini, ghosting dapat menyebabkan keresahan sosial selain dianggap tidak sopan. Alih-alih menghilang tiba-tiba, standar etiket Indonesia sangat menekankan kejelasan dan akuntabilitas saat mengakhiri sebuah hubungan.Â
Ghosting dipandang dalam filsafat eksistensial sebagai refleksi dari krisis eksistensial dalam interaksi interpersonal. Wahyudi (2019) menegaskan bahwa interaksi sosial dan kehadiran yang sepenuhnya sadar diperlukan untuk eksistensi manusia yang sejati. Di sisi lain, ghosting adalah contoh keterasingan eksistensial, di mana orang mengutamakan kenyamanan diri sendiri daripada kewajiban mereka terhadap orang lain. Menurut penjelasan Kierkegaard tentang eksistensialisme dan interpretasi para filsuf lokal seperti Jalaluddin Rakhmat, mengembangkan identitas diri yang sejati mencakup mengambil tanggung jawab atas keberadaan orang lain.Â
Pemahaman tentang dampak ghosting juga didukung oleh landasan psikologis. Menurut penelitian oleh Putri dan Astuti (2022), ghosting, terutama di kalangan individu muda, dapat mengakibatkan gangguan emosional seperti kecemasan, keputusasaan ringan, dan perasaan tidak dihargai. Ini menunjukkan bagaimana ketidakpastian yang disebabkan oleh pengakhiran komunikasi sepihak atau komunikasi yang tidak memadai merusak stabilitas emosional seseorang. Aspek emosional dan relasional dari setiap orang yang terlibat dalam koneksi tersebut harus diperhitungkan dalam pendekatan teoritis terhadap ghosting. Oleh karena itu, landasan teoretis penelitian ini menunjukkan bahwa ghosting adalah bagian dari dinamika komunikasi yang rumit yang melibatkan 4 etika, eksistensi, dan psikologi manusia, alih-alih hanya menjadi fenomena digital yang sementara. Mengingat pendidikan, masyarakat, dan pola komunikasi umum.Â
Dalam komunikasi digital, "ghosting" adalah praktik seseorang yang tibatiba menghentikan semua kontak tanpa peringatan atau penjelasan. Dari sudut pandang komunikasi interpersonal, ghosting adalah tindakan sepihak dalam mengakhiri suatu hubungan, yang umumnya terjadi dalam hubungan sosial dan romantis. Pratama dan Febrianti (2022) menyatakan bahwa ghosting adalah jenis penghindaran konflik yang membuat korban merasa ditinggalkan dan tidak pasti. Dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan aplikasi pesan instan, yang memudahkan pelaku untuk menghilang dari kehidupan daring korban, epidemi ini telah berkembang pesat.Â
Sifat hubungan manusia kontemporer yang serba cepat dan instan secara langsung terkait dengan lingkungan sosial ghosting. Menurut Sari (2021), ghosting adalah pendekatan "praktis" untuk mengakhiri hubungan dengan seseorang tanpa harus menghadapi perasaan mereka karena masyarakat digital mendorong perkembangan hubungan yang rapuh dan tidak berkomitmen. Namun, metode ini mengabaikan komponen tanggung jawab moral dalam komunikasi dan mungkin memiliki efek psikologis yang serius pada korban.Â