Dalam perjalanan membangun bisnis, saya semakin percaya bahwa menjadi founder bukan sekadar soal menciptakan ide cemerlang. Lebih dari itu, seorang founder harus mampu memainkan dua peran sekaligus: petarung di medan perang dan dirigen dalam orkestra besar.
Petarung di Medan Perang
Ketika bisnis masih sebatas ide, founder adalah prajurit garis depan. Dialah yang turun langsung ke lapangan, berburu peluang, mendekati klien, memasarkan produk, bahkan mengirimkan barang pertama kali. Tidak ada kenyamanan di fase ini—yang ada hanyalah insting bertahan hidup.
Di titik ini, tidak ada jabatan CEO yang glamor. Hanya ada keringat, penolakan, dan segudang ketidakpastian. Founder harus siap terluka. Harus siap kehilangan waktu, tenaga, bahkan uang pribadi. Karena medan ini tidak bisa diwakilkan; ini adalah ujian mentalitas.
Namun, banyak founder yang gagal karena terlalu betah menjadi petarung. Mereka lupa, bahwa peran mereka tidak berhenti di sana. Mereka perlu punya kesadaran penuh, posisi itu sementara dan tujuan mereka bukan untuk menjadi petarung selamanya, ada moment dimana mereka harus menyiapkan momentum untu pindah ke fase berikutnya.
Dirigen dalam Orkestra
Ketika bisnis mulai menemukan jalannya, menentukan bentuknya, dan berhasil menjadikan ide tersebut menjadi sesuatu hal yang bisa kita sebut bisnis, founder harus berubah. Dari seorang petarung yang memegang pedang, ia harus menjadi dirigen yang memegang baton.
Orkestra bisnis tidak akan harmonis jika dirigen masih sibuk menabuh drum sendiri. Ia harus memimpin, bukan mengerjakan semuanya. Ia harus mengatur tempo, mengarahkan nada, dan memastikan setiap pemain memainkan instrumen sesuai partitur visi.
Di tahap ini, kemampuan terbesar bukan lagi otot kerja keras, tetapi seni mengelola manusia, mengatur strategi, dan menjaga visi tetap hidup di tengah godaan ekspansi yang membabi buta.
Dua Dunia yang Bertabrakan
Masalahnya, banyak founder gagal berpindah peran. Ada yang terlalu lama bertahan sebagai petarung hingga lupa mengatur tim. Ada pula yang terlalu cepat ingin menjadi dirigen, padahal pasukan di medan perang belum siap.
Peralihan ini sulit karena tidak ada tanda kapan harus berubah. Tidak ada alarm yang berbunyi. Founder harus peka membaca tanda: apakah bisnis sudah punya pondasi yang cukup kuat untuk ditinggalkan sejenak demi membangun orkestra? Ataukah ia harus tetap menghunus pedang karena perang belum selesai? disitulah alasan founder perlu terus belajar, melatih insting mereka dan menguji setiap waktu.
Pelajaran untuk Founder
Dalam ekosistem startup, kita sering mendengar cerita tentang founder yang hebat karena bisa memimpin tim besar. Tapi jarang yang bicara tentang luka-luka yang mereka dapat saat menjadi petarung.
Sebaliknya, kita juga melihat banyak pebisnis kecil yang gagal naik kelas karena tidak pernah belajar menjadi dirigen. Mereka terlalu nyaman bertarung sendiri.
Kebenarannya adalah:Â kedua peran ini wajib dijalani, dan keduanya sama pentingnya.
Menjadi founder berarti siap beradaptasi. Siap menukar pedang dengan baton, dan jika perlu, menukarnya kembali ketika badai datang. Sebab dunia bisnis bukan konser yang selalu indah—kadang orkestra pecah, dan kita harus kembali bertarung.
Di akhir hari, founder sejati adalah mereka yang bisa menari di antara dua dunia: perang dan harmoni.
Salam Founder, M. Nahrowi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI