Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Politik

KB, Transmigran di Papua dan Genocide

20 Februari 2012   12:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu siang. Saya masih asyik menikmati es jeruk di ruang kerja, ketika datang seorang tamu berseragam pegawai negeri sipil. Ia bekerja di kantor BKKBN Propinsi Papua, dan posisi yang cukup lumayan, middle level management. “Silakan duduk, Pak. Bagaimana khabarnya?” Tanyaku membuka perbincangan. Saya bertemu dengannya, pada saat acara diskusi di sebuah hotel di daerah Argapura, Jayapura.

“Alhamdulillah, sehat-sehat saja,” sahutnya.

“Saya sangat tertarik dengan gagasan Bapak mengenai pendekatan kebudayaan dalam menjalankan program di Papua,” lanjutnya.

“Sebenarnya bukan hal yang baru, Pak. Hanya saja mungkin sedikit terlupakan,” kataku mencoba merendahkan diri, meskipun, jujur saja, ada sedikit rasa tersanjung yang berderak-derak karena pernyataannya itu. Sebagai pemain baru dalam menjalankan program di Papua, dan pemain lama merasa tertarik dengan gagasan yang saya kembangkan. Wajarlah, jika saya tersanjung, bukan?

“Pertanyaannya, kenapa kita bisa mengabaikan pendekatan budaya ini? Padahal semua orang selalu bilang, Papua itu terdiri dari ratusan suku, ratusan bahasa yang tersebar-sebar dari pesisir sampai pegunungan,” katanya.

“Apa karena pengabaikan terhadap pendekatan ini lantas menjadi gagal program KB di Papua?”

Jujur saja, saya sama sekali tidak berani membenarkan atau menyalahkan kesimpulannya. Saya tidak memiliki data apa pun yang memadai sebagai argumentasi pembenaran dan argumentasi menyalahkannya. Saya lantas mencoba saja mengembangkan gagasan, memancing dengan pertanyaan sederhana. Sebab ia tentu saja jauh lebih memahami berbagai persoalan di Tanah Papua. Dari sanalah saya hendak mengembangkannya.

“Kira-kira yang banyak dipikirkan orang selama ini, kenapa orang Papua menolak KB?” Tanyaku.

“Kalau tahun-tahun dulu, setiap mereka yang mau KB mendapatkan hadiah,” jawabnya.

“Apakah karena semata-mata tidak mendapatkan hadiah lagi, lantas mereka enggan KB?”

Beberapa saat ia tak menjawab. Wajahnya menunjukkan kegalauan, lebih tepatnya digelayuti ketidaktahuan. Ada rasa tidak adil muncul tiba-tiba dalam benak saya. Bukankah ia datang hendak mencari pemikiran baru, bukan untuk menerima pertanyaan yang menyulitkan. Jika hanya sekedar untuk ditanya, kenapa harus repot-repot bertemu dengan orang lain. Setiap harinya, atasannya saja tak pernah berhenti untuk bertanya, apa saja, seakan pekerjaan utama pejabat tinggi adalah bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun