Semalam, obrolan ringan di salah satu grup WhatsApp yang nge-fans banget dengan karya Dee Lestari ini adalah tentang berbagi buku. Penghuni grup ini memang sebagian besar suka membaca buku dan menulis lepas. Saking lepasnya sampe kadang sang penulis bingung sendiri bikin ending tulisannya. Ato saking lepasnya, sampe kadang si penulis bingung apa yang mau ditulis ... hehehe...
Anyway, obrolan mulai bergeser pada minimnya minat baca penduduk Indonesia. Berada di kumpulan orang-orang yang selalu membahas buku, sempat tercetus juga keheranan seorang teman, bagaimana mungkin budaya literasi Indonesia ternyata berada di urutan 2 terbawah dari 65 negara. Ya iyalah, karena literasi sejatinya bukan hanya soal bisa baca-tulis.
Bahasa lain keberaksaraan adalah literasi. Menurut Hasan Alwi, mantan kepala Pusat Bahasa, "Dalam pengertian luas, keberaksaraan mengacu pada tingkat kecendekiaan seseorang dalam memahami, mengolah, dan mengembangkan sejumlah konsep dasar yang dihadapinya dalam kehidupan". Jadi artinya, membaca tidak hanya sekedar mengeja teks demi teks dalam sebuah tulisan. Tapi juga mengolah / mengkaji kalimat-kalimat tersebut menjadi sebuah pemahaman baru dan merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian terjadi terus menerus.Â
Membaca tidak akan menjadi sebuah pengetahuan baruÂ
apabila tidak dikaji dan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah pernah menonton film kartun Marsha and the Bear buatan Rusia? Tokoh beruang dalam kartun ini digambarkan memiliki rak buku di rumah hutannya. Yang menarik adalah ia kerap mengisi waktu luangnya dengan membaca. Ia juga seringkali menjadikan buku-bukunya sebagai referensi saat menemui masalah. Ini menandakan bahwa membaca memang sudah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari. Dan juga secara tidak langsung menunjukkan budaya membaca negara penghasil film tersebut. Bukankah sebuah karya sangat dipengaruhi oleh tingkat literasi sang pembuat.Â
Di Indonesia, minat membaca saja sudah minim apalagi mengkaji / menganalis bacaannya. Ironisnya adalah bagaimana ketrampilan itu terolah baik pada anak-anak kita apabila budaya membaca buku tidak dikembangkan di rumah dan sekolah. Di negara-negara maju, sekolah-sekolah mengharuskan anak didiknya membaca beberapa judul buku karya sastra sesuai dengan tingkatannya. Â Lalu bagaimana dengan kita ? Bagaimana kita bisa melakukan analisis terhadap bacaan apabila khasanah kita hanya sampai pada What, When, Where? Sementara How and Why sudah dilupakan/dilemahkan dalam sistem pendidikan kita selama ini. Padahal kedua kata tanya itu adalah kunci analitis dan logika berpikir kritis untuk meraih ilmu pengetahuan ?Â
Saat ini kita malah terjebak dalam budaya verbal yang berpusar melalui informasi internet. Ilmu "katanya" ini semakin berkembang pesat di tengah pembaca yang tidak siap dengan ketrampilan literasinya. Tulisan si A atau tulisan si B -yang terkadang sumber, data dan validitas gambar pendukungnya  tidak jelas bahkan sengaja dikaburkan pun- sudah dianggap lumrah. Kita bisa cermati beberapa karakter pembaca yang membagi tautan hanya melihat judul dan gambarnya saja. Cermati pula komentar-komentar yang acap muncul lebih bersifat emosional dan keluar dari konteks isi tulisan. Hal yang menarik lagi adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan pada sang penulis padahal jawaban tersebut sudah jelas tertulis. Menandakan bahwa pertanyaan tersebut tidak perlu muncul KALAU kita membaca informasi tersebut dengan benar. Demikian pula kebutuhan untuk menelusuri sumber data dan melakukan cross check, tidak banyak orang yang mau bersusah payah melakukan hal ini.  Dengan internet kita seolah mengetahui dan memiliki pengetahuan. Padahal itu semua semu dan belum menjadi ilmu pengetahuan bagi diri kita apabila abai melakukan analisis / mengkaji.
Membaca sejatinya adalah proses membuka panca indera kita untuk menerima sesuatu yang terpampang dan merenungkannya. Mengolah pengetahuan dan menjadikannya sebagai referensi kehidupan kita pun membutuhkan kesabaran. Ketrampilan dan kebiasaan ini pun perlu dilatih terus-menerus. Lebih baik mulai mengajarkan anak-anak kita tentang bagaimana bertanya, bukan menjawab. Karena sebenarnya semua jawaban itu ada didalam pertanyaan itu. Jangan jadikan anak-anak kita hanya sebagai "pemulung" informasi.Â
Â
Â