Mohon tunggu...
Aloysius G Dinora
Aloysius G Dinora Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Menyicil Semangat Menulis yang Pernah Hilang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dolly in My Story

22 Juni 2014   03:06 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dolly: Tempat Berkumpulnya Cerita Masa Lalu dan Semangat Bertahan Hidup

Liburan semester lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke Kota Pahlawan Surabaya, ada beberapa cerita menarik ketika berkunjung ke sana, saya dan teman SMA yang sekarang studi di Surabaya berkunjung ke sebuah tempat lokalisasi terkenal di Surabaya, Indonesia sampai Asia Tenggara, Dolly yang sekarang menjadi bahan pemberitaan karena kebijakan Sang Walikota yang menutupnya. Teman saya yang kehidupan sehari-harinya jauh dari hal-hal seperti itu tentu risih dengan ajakan saya. Saya pun meyakinkan dia tujuan saya ke Dolly bukan untuk “jajan” tapi merasakan kehidupan dari sisi yang selama ini jauh dari kami.

Kunjungan ke Dolly sangat singkat, kami yang menyusuri Dolly dengan menaiki motor tidak memakan waktu lebih dari 30 menit, tapi bagi saya “momen” langka itu sungguh semakin membuka cara pikir dan wawasan tentang suatu kebijakan. Pro-Kontra menjadi konsekuensi dari suatu peraturan, berlaku juga bagi peraturan sang Walikota. Saya tidak menempatkan diri sebagai “hakim” yang memutuskan siapa yang benar atau salah. Hal yang menarik bagi saya adalah cerita-cerita dibalik Dolly yang mulai diangkat ke media berkaitan dengan ditutupnya Dolly.

Dampak ekonomi sosial menjadi pemberitaan menarik bagi media untuk diketahui masyarakat. Para pekerja di dalamnya pun mulai bergantian memberikan ceritanya masing-masing mengapa bisa sampai berada dalam Dolly. Sisi kemanusiaan mulai dipandang dibalik kebijakan kontradiktif tersebut. Menarik mengingat wawancara Ibu Risma dalam “Mata Najwa”, salah satu cerita yang semakin membuat dirinya yakin dengan kebijakannya, ketika seorang wanita tua menerima uang Rp.1000-Rp.2000 setelah berkencan dengan anak SD. Air mata pun menderai setelah Ibu Risma menceritakan hal itu.

Saya yakin dalam relung terdalam setiap manusia, tak terkecuali para pekerja Dolly ingin sepenuhnya diperlakukan secara manusiawi, ingin memiliki pekerjaan yang lebih baik dan berlabel halal. Cap yang diberikan masyarakat memang menyakiti bahkan mungkin menumpulkan hati mereka, seperti lirik lagu yang pernah dinyanyikan Titiek Puspa dan Peterpan “Dosakah yang mereka kerjakan, sucikah mereka yang datang”, suatu lirik yang dalam yang mengingatkan kita bahwa orang munafik lebih buruk dari penjahat.

Teringat kata-kata Paus Fransiskus yang diminta untuk menanggapi kaum homoseksual, “Siapakah saya, sampai saya bisa menghakimi dia” ungkapan yang kembali mengajarkan sikap rendah hati dan mengingat kedosaan kita. Peristiwa penutupan Dolly yang menguak berbagai dampaknya ingin kembali mengingatkan sisi humanisme kita. Mengeksploitasi seks memang bukan tindakan yang memanusiakan manusia, alasan apapun menjual atau menjadi penikmat jasa seks komersial bukan menjadi alasan untuk membenarkan keberadaan suatu wadah protitusi. Semoga mereka para LSM dan pemerintah yang memperjuangkan kemanusiaan semakin menggugah sisi kemanusiaan kita untuk berbuat sesuatu, bukan sebagai hakim yang hanya mempunyai dua pilihan. Salam Berbagi

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun