Di zaman serba digital ini, layar seperti menjadi sahabat karib kita. Bahkan kadang lebih setia daripada sandal jepit, hahahaaaa. Bangun tidur cek HP, makan siang sambil scroll TikTok, malamnya nonton drakor atau nge-like status orang yang sebenarnya nggak kita kenal-kenal amat. Sebagai ibu dan juga guru, saya pun tak luput dari pusaran teknologi ini. Apalagi setelah seharian mengajar, masih ada tugas menumpuk yang harus diketik, pesan dari grup wali murid yang minta dibalas, dan tentu saja drama anak-anak dan suami yang juga ingin perhatian.
Namun, suatu hari saya menyadari: kami serumah tapi jarang betul bercengkerama. Makan bareng? Seringnya sambil nonton YouTube. Anak saya lebih akrab dengan karakter game daripada cerita masa kecil saya. Suami juga kadang lebih fokus sama notifikasi di HP ketimbang cerita saya tentang siswa yang nyaris menyetrika kucing karena dikira baju. Dari situlah saya mulai memberanikan diri menerapkan yang saya sebut sebagai "Hari Tanpa Teknologi".
Satu hari dalam seminggu, biasanya hari Minggu, kami bersepakat untuk mematikan gadget selama 24 jam. Bukan hanya HP, tapi juga TV, laptop, dan bahkan jam tangan pintar (yang lebih sering bikin kita stres karena hitungan langkah tak terpenuhi). Saya akui, awalnya berat. Anak-anak sempat protes seperti kehilangan mainan favorit. Suami saya juga sempat curiga, "Ini pasti ide dari seminar parenting, ya?"
Kami lalu mulai mengisi waktu dengan kegiatan yang selama ini jarang dilakukan. Pagi hari kami jalan-jalan keliling desa sambil mencari daun aneh untuk ditempel di buku. Siangnya masak bareng, meski dapur jadi seperti habis diserang alien---tapi tawa dan canda yang hadir tak ternilai. Anak saya yang biasanya hanya tahu mie instan, jadi tahu cara mengupas bawang (walau akhirnya semua malah menangis berjamaah karena kebanyakan bawang).
Sore harinya kami bermain kartu, main ular tangga, atau sekadar membuat origami. Kadang saya membacakan dongeng, dengan suara ala-ala wayang atau penyihir tua. Anak-anak pun terbahak. "Mami lebih lucu dari YouTuber itu!" katanya. Itu pujian paling membahagiakan buat saya, lebih dari nilai PPG atau sertifikat pelatihan daring.
Manfaatnya mulai terasa. Anak-anak jadi lebih komunikatif. Mereka mulai bercerita lebih banyak, bahkan tentang hal-hal kecil seperti teman sebangku yang kentut diam-diam saat pelajaran IPA. Suami saya juga jadi lebih perhatian---bahkan menawarkan membuat teh tanpa saya minta. Rasanya seperti kembali ke masa awal menikah, ketika saling menatap lebih sering daripada menatap layar.
Sebagai guru, saya juga mulai menyisipkan pesan-pesan digital detox di kelas. Saya cerita ke murid-murid, kalau HP itu seperti pisau dapur---berguna kalau tahu cara pakainya, tapi bisa bahaya kalau tak dikontrol. Lucunya, beberapa murid saya lalu bilang ke orang tuanya, "Bu Dewi bilang kita harus main sama keluarga, bukan sama HP terus!" Wah, ternyata bisa jadi agen perubahan juga.
Tentu, digital detox ini bukan berarti anti teknologi. Saya tetap perlu gadget untuk kerja, dan anak-anak juga butuh akses untuk belajar. Tapi yang ingin saya tanamkan adalah kesadaran memilih. Kapan harus menatap layar, dan kapan saatnya menatap wajah orang tercinta. Karena jujur saja, tak ada notifikasi yang lebih penting dari suara tawa anak kita, atau pelukan hangat pasangan saat malam tiba.
Kini, kami sekeluarga jadi punya semacam tradisi kecil: Hari Minggu adalah hari "kembali jadi manusia sepenuhnya". Tanpa layar, tanpa scroll-scroll. Hanya obrolan ringan, tawa, dan kadang sedikit ribut rebutan bantal di ruang keluarga. Tapi itu lebih nyata dan berharga daripada ribuan like di media sosial.
Saya percaya, hubungan yang kuat dibangun dari momen-momen kecil yang penuh makna. Dan sering kali, momen-momen itu muncul justru ketika kita berani "mematikan" dunia luar dan benar-benar hadir satu sama lain.
Jadi, bagi para ibu (dan bapak) yang merasa kewalahan membagi waktu di tengah gempuran teknologi, mungkin sudah saatnya mencoba hari tanpa layar. Siapa tahu, Anda akan menemukan versi keluarga yang lebih hangat---dan mungkin juga kemampuan menyanyi karaoke tanpa lirik di layar!