Mohon tunggu...
Misri Gozan
Misri Gozan Mohon Tunggu... Guru Besar Teknik Kimia - UI, Ketua BATAP LAM TEKNIK-IABEE Persatuan Insinyur Indonesia

Ketua BATAP dan Komite Eksekutif LAM TEKNIK, Persatuan Insinyur Indonesia Guru Besar Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Pengasuh Pendidikan Dasar, Menengah dan Pesantren

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kolaboratif MBG yang Tak Bebani Negara

30 September 2025   14:20 Diperbarui: 30 September 2025   21:44 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita semua sepakat bahwa anak-anak adalah harapan bangsa. Bila mereka tumbuh kekurangan gizi, stunting, anemia, bukan cuma fisik yang terganggu, produktivitas masa depan bangsa ikut "tercerabut." Inilah latar belakang gagasan besar MBG, Makan Bergizi Gratis, yang digulirkan pemerintah sebagai upaya intervensi gizi skala luas.

Tapi pertanyaannya: apakah negara mampu menanggung beban besar ini sendirian? Atau sebaliknya, apakah MBG harus ditekan kompetensinya agar tak "membobol" APBN?

Saya percaya: MBG harus tetap berjalan. Tapi dalam bentuk yang cerdas, kolaboratif, terdiversifikasi, dan berkelanjutan, supaya tidak menguras keuangan negara, sekaligus tetap berdampak nyata.

MBG Masih Relevan?

Data prevalensi kurang gizi (stunting) terbaru menunjukkan kemajuan, tetapi masih jauh dari aman: prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8 % pada 2024 dari 21,5 % pada 2023. 

Artinya, sekitar 4,48 juta balita masih berada dalam kondisi stunting sebagaimana data dari Kemenko PMK. Penurunan ini patut diapresiasi, tetapi target nasional RPJMN adalah 14,2 % pada 2029, masih ada celah besar yang harus diisi. Jadi agaknya MBG masih cukup relevan sebagai instrumen menurunkan gizi buruk dalam jangka panjang. 

 MBG menjadi salah satu instrumen "gizi sensitif" yang bisa menjangkau anak sekolah dan ibu hamil secara langsung. Namun, bila modelnya hanya bergantung anggaran negara yang besar dan terpusat, risiko fatal menanti: bancakan dana, pengadaan fiktif, proporsi manajemen tinggi, dan tentu saja tekanan fiskal. Sayangnya, banyak tanda-tanda masih menunjukkan bahwa kita belum bisa keluar dari kebiasaan buruk "bancakan" ini. Padahal, ini adalah usaha mulia dari Pak Presiden bagi bangsanya. 

Pilar-pilar Kolaboratif Sumber Pembiayaan dan Berbagi Risiko

Sebagai sebuah negara yang makin modernm sebaiknya kita makin biasa dengan ide menghindari monopoli negara dalam berbagai hal. Agar tidak membebani APBN, maka selayaknya negara hanya bertindak sebagai fasilitator & regulator, menyediakan arahan, standar, dukungan infrastruktur, distribusi dana khusus, tetapi bukan pelaksana, apalagi pelaksana tunggal. 

Kemitraan multipihak, melibatkan CSR industri, BUMN, koperasi lokal, ormas, komunitas, agar beban biaya dan risiko tidak hanya ditanggung negara. CSR ini tentunya dapat dijadikan deduksi pajak yang manfaatnya akan menjadi solusi bagi semua pihak. 

Dengan logika ini, negara tetap menjaga standar nasional, mengawasi, dan mendanai sebagian, sementara pihak lain ikut membiayai dan ikut menjalankan bagian.

a. CSR & Perusahaan

Banyak perusahaan telah menjalankan program CSR terkait gizi atau pendidikan. Sebuah grup perusahaan swasta, misalnya, meluncurkan MBG berbasis CSR di 13 kota melalui uji coba di 31 sekolah. Program ini melibatkan UMKM sebagai pemasok makanan dan memicu efek pengganda ekonomi: UMKM yang ikut mengalami peningkatan pendapatan rata-rata 33,7 % dari skema ini.  Garuda Indonesia Group melalui anak usahanya meluncurkan program makan bergizi gratis untuk sekolah dasar di Tangerang dalam kolaborasi dengan CSR perusahaan.

Itulah contoh bahwa sektor swasta bisa ikut menanggung beban, tidak sebagai traktiran sesaat, tetapi sebagai bagian dari strategi keberlanjutan sosial. 

Anda yang bersekolah dasar di tahun 70-80 an mungkin masih ingat program minum susu dan makan bubur kacang hijau gratis di sekolah dulu? Sangat efektif, jauh dari isu keracunan!

   

b. Koperasi & UMKM Lokal

Jika MBG dapat melibatkan koperasi siswa atau koperasi desa sebagai penyedia bahan (sayur, telur, ikan lokal, hasil tani), maka biaya logistik dan margin rantai panjang bisa dipangkas. UMKM lokal tak hanya mendapat pasar tetap, tetapi turut berkontribusi pada gizi anak-anak daerah mereka sendiri.

Model semacam ini mempersempit celah bagi penyimpangan karena rantai pasok lebih pendek dan dikenal masyarakat setempat.

c. Ormas & Organisasi Komunitas

Ormas memiliki jaringan akar rumput, kepercayaan masyarakat, dan mobilisasi sosial. Bila diberi ruang untuk menjalankan MBG sebagai bagian dari program sosial mereka, beberapa manfaat bisa diraih:

  • Ormas bisa menjadi mitra distribusi dan pengawasan: mereka dapat mengelola dapur lokal, menjangkau sekolah di wilayah basis mereka, dan memberi laporan ke wilayah pusat.

  • Ormas memperoleh legitimasi baru: bukan sekadar lembaga sosial politik, melainkan agen nyata kemanusiaan dan kejujuran.

  • Ormas bisa menjadi jembatan antara industri pemberi CSR dan penerima manfaat --- membantu menyalurkan CSR agar tepat sasaran.

Dengan demikian, ormas tidak lagi "mengharapkan" dana negara, melainkan ikut berkontribusi menggunakan jaringan dan ide.


Hitungan Penghematan

Jika semua biaya Makan Bergizi Gratis (MBG) ditanggung negara, dengan 80 juta siswa Rp15.000 per porsi 200 hari, maka totalnya sekitar Rp240 triliun per tahun.

Namun, bila dibagi beban: CSR perusahaan & BUMN: 20% (Rp48 triliun);  Koperasi & UMKM: 10% (Rp24 triliun);  dan Ormas & filantropi: 10% (Rp24 triliun), maka APBN hanya perlu menutup sisanya, yaitu Rp144 triliun. Artinya, ada penghematan Rp96 triliun.

Jika kontribusi multipihak ditingkatkan, misalnya CSR 25% dan ormas 15%, maka APBN hanya menanggung Rp120 triliun. Itu berarti hemat 50% dari beban awal. Pihak swasta dan ormas mungkin lebih jago dalam berkreasi sumber pendanaan. 

Ini menunjukkan bahwa MBG tidak harus dibayangkan sebagai program yang menguras keuangan negara. Justru dengan melibatkan dunia usaha, koperasi, UMKM, dan ormas, biaya bisa terbagi secara adil, manfaat ekonomi lokal bergerak, dan negara tetap berperan sebagai pengatur serta pengawas. Hasilnya, MBG bisa berjalan berkelanjutan sekaligus mendorong kejujuran sosial, gotong royong, dan kemandirian bangsa.

Manfaat Ganda 

Jika MBG dijalankan sesuai kerangka ini, maka pakan memberi banyak manfaat sekaligus: anak-anak memperoleh gizi sehingga potensi stunting dan malnutrisi menurun, sementara UMKM dan koperasi lokal bergerak sehingga ekonomi akar rumput tumbuh dan lapangan kerja tercipta. Perusahaan dan BUMN mendapatkan citra CSR yang nyata, bukan sekadar pencitraan, sedangkan ormas tumbuh sebagai aktor pembangunan yang dekat dengan masyarakat dan berlatih integritas dalam praktik. Negara pun tetap berperan sebagai pengatur dan pengawas tanpa harus menanggung beban penuh, sehingga fiskal tidak tercekik oleh tanggung jawab tunggal. .

MBG pun tak lagi sekadar "program makan gratis" tapi ekosistem sosial-gizi yang menyatukan kekuatan publik, bisnis, dan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun