Kita semua sepakat bahwa anak-anak adalah harapan bangsa. Bila mereka tumbuh kekurangan gizi, stunting, anemia, bukan cuma fisik yang terganggu, produktivitas masa depan bangsa ikut "tercerabut." Inilah latar belakang gagasan besar MBG, Makan Bergizi Gratis, yang digulirkan pemerintah sebagai upaya intervensi gizi skala luas.
Tapi pertanyaannya: apakah negara mampu menanggung beban besar ini sendirian? Atau sebaliknya, apakah MBG harus ditekan kompetensinya agar tak "membobol" APBN?
Saya percaya: MBG harus tetap berjalan. Tapi dalam bentuk yang cerdas, kolaboratif, terdiversifikasi, dan berkelanjutan, supaya tidak menguras keuangan negara, sekaligus tetap berdampak nyata.
MBG Masih Relevan?
Data prevalensi kurang gizi (stunting)Â terbaru menunjukkan kemajuan, tetapi masih jauh dari aman: prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8 % pada 2024 dari 21,5 % pada 2023.Â
Artinya, sekitar 4,48 juta balita masih berada dalam kondisi stunting sebagaimana data dari Kemenko PMK. Penurunan ini patut diapresiasi, tetapi target nasional RPJMN adalah 14,2 % pada 2029, masih ada celah besar yang harus diisi. Jadi agaknya MBG masih cukup relevan sebagai instrumen menurunkan gizi buruk dalam jangka panjang.Â
 MBG menjadi salah satu instrumen "gizi sensitif" yang bisa menjangkau anak sekolah dan ibu hamil secara langsung. Namun, bila modelnya hanya bergantung anggaran negara yang besar dan terpusat, risiko fatal menanti: bancakan dana, pengadaan fiktif, proporsi manajemen tinggi, dan tentu saja tekanan fiskal. Sayangnya, banyak tanda-tanda masih menunjukkan bahwa kita belum bisa keluar dari kebiasaan buruk "bancakan" ini. Padahal, ini adalah usaha mulia dari Pak Presiden bagi bangsanya.Â
Pilar-pilar Kolaboratif Sumber Pembiayaan dan Berbagi Risiko
Sebagai sebuah negara yang makin modernm sebaiknya kita makin biasa dengan ide menghindari monopoli negara dalam berbagai hal. Agar tidak membebani APBN, maka selayaknya negara hanya bertindak sebagai fasilitator & regulator, menyediakan arahan, standar, dukungan infrastruktur, distribusi dana khusus, tetapi bukan pelaksana, apalagi pelaksana tunggal.Â
Kemitraan multipihak, melibatkan CSR industri, BUMN, koperasi lokal, ormas, komunitas, agar beban biaya dan risiko tidak hanya ditanggung negara. CSR ini tentunya dapat dijadikan deduksi pajak yang manfaatnya akan menjadi solusi bagi semua pihak.Â