Di tengah tuntutan akan kualitas pendidikan tinggi, akreditasi harusnya jadi kata kunci. Tanpa akreditasi, ijazah tidak diakui, mahasiswa sulit mendapat pekerjaan, dan kampus kehilangan legitimasi. Secara global, rangking kampus maupun status akreditasi internasional program studi juga semakin penting dibicarakan di antara pegiat pendidikan tinggi.Â
Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: siapa yang harus membiayai proses akreditasi ini? Wajarkah jika negara memberi subsidi semua, termasuk kampus yang kuat dan besar?
Sejak diberlakukannya UU 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, akreditasi diwajibkan bagi seluruh perguruan tinggi (AIPT) dan program studi (APS). Proses ini selanjutnya dijalankan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), yang bersifat profesional dan independen dari pemerintah. Karena ia tidak lagi dibiayai penuh oleh negara, muncul dinamika baru: sebagian kampus mengeluh beratnya biaya, sementara sebagian lainnya menyambut baik karena prosesnya lebih fokus pada mutu, bukan administratif.
Pada tulisan ini saya mencoba mensimulasikan biaya akreditasi dan dengan beberapa skenario subsidi. Sebagai gambaran, biaya akreditasi satu unit (baik AIPT maupun APS) berada pada kisaran Rp50--100 juta. Dengan jumlah sekitar 4.500--5.000 perguruan tinggi dan 28.000--35.000 program studi di Indonesia, total biaya nasional untuk akreditasi menjadi 1,625 -- 4 Trilyun jika subsidi sepenuhnya. Namun, jika dibebankan spenuhnya pada program studi, tentu sebagian akan menjerit. Maka wajar jika wacana subsidi diperbincangkan kembali.
Mencari Titik Temu: Mutu, Akses, dan Keadilan
Jika seluruh biaya dibayar pemerintah (skenario 1), negara harus menyiapkan antara Rp1,6 hingga Rp4 triliun. Ini adalah angka yang harus dibayarkan selama 5 tahun. Artinya, kisaran total subsidi per tahun hanyalah 325 hingga 750 Milyar, rasanya ini bukan beban bagi negara kita yang memiliki anggaran  sekitar 2000 trilyun per tahun. Tetap saja, perlu dipertimbangkan kelayakan fiskal dan prioritas pembangunan.
Besaran subsidi total ini jauh sekali lebih kecil dibandingkan anggaran infrastruktur atau bahkan bansos. Dan jelas ini investasi jangka panjang yang mestinya sangat berarti bagi kemajuan negeri.Â
Namun, apakah adil jika negara membayar semuanya? Apakah harus diserahkan ke kampus sepenuhnya? Atau cukup sebagian saja yang dibantu?
Â
Sebaliknya, jika semua biaya diserahkan ke kampus (skenario 2), banyak kampus kecil dan prodi baru akan terkapar, tak mampu memperpanjang akreditasi. Akibatnya, mahasiswa yang dirugikan. Kampus bisa ditutup karena tidak terakreditasi.
Skenario subsidi 30% tanpa seleksi (skenario 3) terasa adil di permukaan. Negara mengeluarkan hanya 97 - 240 Milyar per tahun. Â Namun bisa disalahgunakan. Kampus besar yang mampu bayar tetap dapat subsidi, yang seharusnya hanya untuk kampus lemah.
Maka muncul opsi subsidi selektif (skenario 4), di mana hanya prodi/kampus yang memenuhi kriteria eligibilitas, misalnya memiliki minimal 5 dosen tetap, kurikulum aktif, dan masa akreditasi belum kedaluwarsa, yang mendapat bantuan.Â
Skenario 5 mencoba kompromi: negara hanya membiayai AIPT yang jumlahnya jauh lebih kecil, agar penguatan tata kelola kampus bisa berlangsung. Prodi tetap membiayai akreditasinya. Sementara itu, skenario 6 berbasis "cost sharing" , misalnya akreditasi APS Rp100 juta, namun pemerintah membantu 40%. Ini mendorong efisiensi dan tanggung jawab bersama.
Â
Akreditasi sebagai Investasi Mutu
Pada akhirnya, akreditasi adalah alat peningkatan mutu, bukan sekadar administrasi. Ia harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk kualitas generasi bangsa. Maka wajar jika pembiayaannya menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan.
Subsidi boleh, bahkan perlu. Tapi harus cerdas: berbasis data, kinerja, dan kebutuhan. Tidak semua harus gratis. Yang penting, tidak ada kampus bermutu yang tumbang karena tak sanggup bayar akreditasi. Dan sebaliknya, tidak ada kampus lemah yang hidup dari subsidi tanpa niat memperbaiki diri.
Dengan desain pembiayaan yang bijak dan transparan, kita bisa memastikan bahwa akreditasi menjadi jalan menuju mutu, bukan dipandang melulu sekadar biaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI