Skenario subsidi 30% tanpa seleksi (skenario 3) terasa adil di permukaan. Negara mengeluarkan hanya 97 - 240 Milyar per tahun. Â Namun bisa disalahgunakan. Kampus besar yang mampu bayar tetap dapat subsidi, yang seharusnya hanya untuk kampus lemah.
Maka muncul opsi subsidi selektif (skenario 4), di mana hanya prodi/kampus yang memenuhi kriteria eligibilitas, misalnya memiliki minimal 5 dosen tetap, kurikulum aktif, dan masa akreditasi belum kedaluwarsa, yang mendapat bantuan.Â
Skenario 5 mencoba kompromi: negara hanya membiayai AIPT yang jumlahnya jauh lebih kecil, agar penguatan tata kelola kampus bisa berlangsung. Prodi tetap membiayai akreditasinya. Sementara itu, skenario 6 berbasis "cost sharing" , misalnya akreditasi APS Rp100 juta, namun pemerintah membantu 40%. Ini mendorong efisiensi dan tanggung jawab bersama.
Â
Akreditasi sebagai Investasi Mutu
Pada akhirnya, akreditasi adalah alat peningkatan mutu, bukan sekadar administrasi. Ia harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk kualitas generasi bangsa. Maka wajar jika pembiayaannya menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan.
Subsidi boleh, bahkan perlu. Tapi harus cerdas: berbasis data, kinerja, dan kebutuhan. Tidak semua harus gratis. Yang penting, tidak ada kampus bermutu yang tumbang karena tak sanggup bayar akreditasi. Dan sebaliknya, tidak ada kampus lemah yang hidup dari subsidi tanpa niat memperbaiki diri.
Dengan desain pembiayaan yang bijak dan transparan, kita bisa memastikan bahwa akreditasi menjadi jalan menuju mutu, bukan dipandang melulu sekadar biaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI