Belakangan ini muncul wacana agar pelaksanaan akreditasi perguruan tinggi dan program studi dikembalikan sepenuhnya ke tangan negara melalui BAN-PT. Alasan yang dikemukakan cukup menggelitik: negara tidak boleh melepaskan tanggung jawab atas mutu pendidikan tinggi. Sekilas terdengar patriotik. Tapi benarkah akreditasi sepenuhnya tanggung jawab pemerintah?
Perlu diingat, kewajiban akreditasi sudah diatur sejak UU No. 2 Tahun 1989 dan PP No. 60 Tahun 1999, dengan pelaksana utama saat itu adalah BAN-PT, lembaga bentukan pemerintah. Namun seiring meningkatnya jumlah program studi, yang kini melampaui 31.000 menurut data PDDIKTI, BAN-PT tidak lagi mampu melayani semua kebutuhan secara efisien. Munculnya UU No. 12 Tahun 2012 menandai transformasi penting: akreditasi tetap wajib, namun pelaksanaannya tidak harus oleh negara, melainkan juga bisa dilakukan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat, yakni asosiasi profesi dan penyelenggara program studi.
Langkah ini bukan sekadar desentralisasi, tapi strategi untuk memperkuat partisipasi komunitas keilmuan dalam menjamin mutu pendidikan tinggi. Negara tetap berperan dalam regulasi dan pengakuan, sementara LAM hadir untuk menjalankan proses akreditasi yang lebih responsif, profesional, dan akuntabel. Beban negara berkurang, namun tanggung jawab tetap terjaga.
Independensi LAM: Kunci Pengakuan Internasional
Independensi lembaga akreditasi tidak hanya penting untuk konsumsi nasional, tetapi juga menjadi prasyarat pengakuan global. Forum-forum akreditasi dunia seperti Washington Accord, Sydney Accord, dan Seoul Accord hanya mengakui lembaga yang independen secara hukum dan tata kelola. Campur tangan pemerintah secara langsung justru dinilai mengurangi kredibilitas penilaian.
Negara-negara seperti Amerika Serikat (ABET), Jerman (ASIIN, AQAS), Jepang (JUAA), hingga Korea Selatan (KCUE) telah lama mengadopsi model independen. Bahkan di kawasan ASEAN, Filipina memakai lembaga swasta PAASCU, sementara Malaysia dan Thailand mengembangkan badan semi-independen. Indonesia berada dalam jalur yang sama melalui kehadiran LAM. Contohnya, LAM TEKNIK telah menerapkan audit keuangan oleh akuntan publik dan memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) serta sertifikasi ISO 9001:2015, menandakan akuntabilitas dan transparansi sejak awal.
Bukan Beban, Tapi Kesempatan
Anggapan bahwa akreditasi adalah beban sering kali muncul karena manajemen kampus yang belum tertata. Padahal, jika dikelola dengan baik, akreditasi bisa menjadi alat refleksi yang sangat strategis. Ia membantu menyusun peta jalan pengembangan berdasarkan data dan masukan dari sivitas akademika serta dunia kerja.
Isu biaya pun sering dibesar-besarkan. Biaya akreditasi LAM, jika dibagi per mahasiswa per semester, setara atau bahkan lebih murah dari paket data internet. Sungguh aneh bila kampus tak mampu  menyiapkan dana yang relatif sangat murah itu untuk urusan maha penting yaitu penjaminan mutu eksternal. Untuk menjawab efisiensi, Indonesia bisa mencontoh negara lain dengan memperpanjang masa berlaku akreditasi menjadi 6–10 tahun, dilengkapi pelaporan berkala berbasis mutu.
Apa jadinya bila negara ditambahi beban keuangan yang sudah sangat mampu dipikul oleh para pengelola institusi pendidikan tinggi? Sementara itu butir-butir instrumen akreditasi juga syarat dengan arahan untuk perbaikan tata kelola dan tata pamong program studi dan unit penyelenggaranya. Seharusnya akreditasi disyukuri dan dijadikan cermin bagi pengelolaan kampus. Jangan sampai buruk muka, cermin dibelah.Â