Mohon tunggu...
Misri Gozan
Misri Gozan Mohon Tunggu... Guru Besar Teknik Kimia - UI, Ketua BATAP LAM TEKNIK-IABEE Persatuan Insinyur Indonesia

Ketua BATAP dan Komite Eksekutif LAM TEKNIK, Persatuan Insinyur Indonesia Guru Besar Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Pengasuh Pendidikan Dasar, Menengah dan Pesantren

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penjaminan Mutu Kampus: Wajib hukumnya, tapi Tidak Mesti Bebani Negara

5 Mei 2025   13:34 Diperbarui: 16 Mei 2025   18:03 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belakangan ini muncul wacana agar pelaksanaan akreditasi perguruan tinggi dan program studi dikembalikan sepenuhnya ke tangan negara melalui BAN-PT. Alasan yang dikemukakan cukup menggelitik: negara tidak boleh melepaskan tanggung jawab atas mutu pendidikan tinggi. Sekilas terdengar patriotik. Tapi benarkah akreditasi sepenuhnya tanggung jawab pemerintah?

Perlu diingat, kewajiban akreditasi sudah diatur sejak UU No. 2 Tahun 1989 dan PP No. 60 Tahun 1999, dengan pelaksana utama saat itu adalah BAN-PT, lembaga bentukan pemerintah. Namun seiring meningkatnya jumlah program studi, yang kini melampaui 31.000 menurut data PDDIKTI, BAN-PT tidak lagi mampu melayani semua kebutuhan secara efisien. Munculnya UU No. 12 Tahun 2012 menandai transformasi penting: akreditasi tetap wajib, namun pelaksanaannya tidak harus oleh negara, melainkan juga bisa dilakukan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat, yakni asosiasi profesi dan penyelenggara program studi.

Langkah ini bukan sekadar desentralisasi, tapi strategi untuk memperkuat partisipasi komunitas keilmuan dalam menjamin mutu pendidikan tinggi. Negara tetap berperan dalam regulasi dan pengakuan, sementara LAM hadir untuk menjalankan proses akreditasi yang lebih responsif, profesional, dan akuntabel. Beban negara berkurang, namun tanggung jawab tetap terjaga.

Independensi LAM: Kunci Pengakuan Internasional

Independensi lembaga akreditasi tidak hanya penting untuk konsumsi nasional, tetapi juga menjadi prasyarat pengakuan global. Forum-forum akreditasi dunia seperti Washington Accord, Sydney Accord, dan Seoul Accord hanya mengakui lembaga yang independen secara hukum dan tata kelola. Campur tangan pemerintah secara langsung justru dinilai mengurangi kredibilitas penilaian.

Negara-negara seperti Amerika Serikat (ABET), Jerman (ASIIN, AQAS), Jepang (JUAA), hingga Korea Selatan (KCUE) telah lama mengadopsi model independen. Bahkan di kawasan ASEAN, Filipina memakai lembaga swasta PAASCU, sementara Malaysia dan Thailand mengembangkan badan semi-independen. Indonesia berada dalam jalur yang sama melalui kehadiran LAM. Contohnya, LAM TEKNIK telah menerapkan audit keuangan oleh akuntan publik dan memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) serta sertifikasi ISO 9001:2015, menandakan akuntabilitas dan transparansi sejak awal.

Bukan Beban, Tapi Kesempatan

Anggapan bahwa akreditasi adalah beban sering kali muncul karena manajemen kampus yang belum tertata. Padahal, jika dikelola dengan baik, akreditasi bisa menjadi alat refleksi yang sangat strategis. Ia membantu menyusun peta jalan pengembangan berdasarkan data dan masukan dari sivitas akademika serta dunia kerja.

Isu biaya pun sering dibesar-besarkan. Biaya akreditasi LAM, jika dibagi per mahasiswa per semester, setara atau bahkan lebih murah dari paket data internet. Sungguh aneh bila kampus tak mampu  menyiapkan dana yang relatif sangat murah itu untuk urusan maha penting yaitu penjaminan mutu eksternal. Untuk menjawab efisiensi, Indonesia bisa mencontoh negara lain dengan memperpanjang masa berlaku akreditasi menjadi 6–10 tahun, dilengkapi pelaporan berkala berbasis mutu.

Apa jadinya bila negara ditambahi beban keuangan yang sudah sangat mampu dipikul oleh para pengelola institusi pendidikan tinggi? Sementara itu butir-butir instrumen akreditasi juga syarat dengan arahan untuk perbaikan tata kelola dan tata pamong program studi dan unit penyelenggaranya. Seharusnya akreditasi disyukuri dan dijadikan cermin bagi pengelolaan kampus. Jangan sampai buruk muka, cermin dibelah. 

Tanggung Jawab Siapa?

Akreditasi adalah bagian dari upaya penjaminan mutu yang bisa dilakukan secara internal maupun eksternal. Kedua jenis akreditasi ini sewajarnya adalah wajib hukumnya. Di sisi lain juga merupakan kewajiban moral dari institusi pendidikan untuk menjamin mutu lulusan. Tanggung jawabnya tidak dapat dibebankan sepihak, tidak hanya kepada negara, LAM, ataupun dosen. Ini adalah tanggung jawab kolektif: negara sebagai pengatur, LAM sebagai pelaksana yang independen, dan kampus sebagai penjaga budaya mutu.

Saatnya berhenti memperdebatkan siapa yang harus memikul beban. Yang lebih penting adalah bekerja sama membangun sistem akreditasi yang kredibel, efisien, dan diakui dunia. Karena tanpa itu, mutu pendidikan tinggi Indonesia hanya akan menjadi slogan tanpa substansi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun