Mohon tunggu...
Mimie
Mimie Mohon Tunggu... .

.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Perjuangan Menyelesaikan Tugas Akhir di Tengah Diagnosis F32.3

22 Juli 2025   10:57 Diperbarui: 22 Juli 2025   10:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar koleksi pribadi

Menapaki gerbang pendidikan tinggi, setiap mahasiswa pascasarjana membawa serta impian besar, tak terkecuali saya. Membayangkan diri berdiri gagah dengan jubah doktor dan toga, menyandang gelar yang menjadi puncak pencapaian akademis, adalah pemandangan yang senantiasa membakar semangat. Disertasi, tugas akhir maha penting itu, awalnya saya sambut dengan antusiasme meluap-luap. Berjam-jam riset, tumpukan buku, dan malam-malam panjang di depan laptop terasa seperti sebuah petualangan ilmiah yang mendebarkan, mengantar saya semakin dekat pada cita-cita. Namun, seiring waktu bergulir, cahaya optimisme yang semula benderang itu perlahan mulai redup, digantikan oleh awan kelabu keraguan yang semakin pekat.

Realita pahit itu menghantam telak di tengah perjalanan studi: diagnosis Depresi Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3). Ini bukan sekadar rasa sedih biasa; ini adalah kabut tebal yang menyelimuti seluruh aspek kehidupan, mengubah dinamika yang semula terencana rapi menjadi kekacauan tak berujung. Hari-hari yang seharusnya dipenuhi dengan riset dan penulisan, kini berganti menjadi perjuangan melawan pikiran-pikiran yang mengganggu dan halusinasi yang menyesatkan. Dinding-dinding kamar terasa menyempit, sementara dunia luar terasa begitu menakutkan dan asing. Rutinitas sederhana seperti bangun dari tempat tidur atau sekadar mandi pun menjadi tugas berat yang menguras seluruh energi.

Dampak paling signifikan terasa pada produktivitas dan konsentrasi. Otak yang dulunya tajam dan mampu menyerap informasi dengan cepat, kini terasa seperti spons basah yang tak mampu menahan air. Membaca satu paragraf saja butuh usaha keras, apalagi memahami teori-teori rumit atau menganalisis data. Pikiran sering kali melayang entah ke mana, fokus mudah buyar, dan ide-ide yang seharusnya mengalir lancar kini terfragmentasi dan sulit diatur. Tenggat waktu yang semula tampak realistis kini terasa seperti gunung es yang tak mungkin didaki, dan setiap upaya untuk duduk di depan laptop terasa seperti menyeret beban ribuan kilogram.

Semangat yang membara di awal perlahan padam, digantikan oleh apatisme yang dalam. Mood yang tidak stabil, sering kali merosot tajam ke titik terendah, membuat motivasi seolah lenyap ditelan bumi. Laporan disertasi, yang tadinya merupakan simbol impian, kini menjadi monster menakutkan yang terus menghantui. Setiap kali mencoba melanjutkan, rasa putus asa dan kelelahan mental menghampiri, membuat setiap kata yang ditulis terasa hambar dan tanpa makna. Ini bukan lagi tentang mencapai gelar, melainkan tentang bagaimana bertahan hidup di tengah badai yang tak kunjung usai, sembari mencoba memegang erat sisa-sisa harapan untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

Perjalanan menyelesaikan disertasi ini semakin terjal dengan kemunculan berbagai distraktor yang tak henti-hentinya menghantam. Efek samping dari obat-obatan yang harus saya konsumsi untuk menstabilkan kondisi mental menjadi salah satu penghalang utama. Rasa kantuk yang tak tertahankan, mual, hingga pikiran yang terasa lambat, seringkali membuat saya tak berdaya di depan tumpukan referensi. Ditambah lagi, mood yang fluktuatif seperti roller coaster emosi; satu momen bisa merasa sedikit lebih baik, namun sesaat kemudian terjerembab dalam jurang keputusasaan. Kecemasan berlebih menjadi bayang-bayang yang terus mengikuti, menciptakan skenario terburuk di setiap langkah, memicu serangan panik yang melumpuhkan kemampuan untuk berpikir jernih. Semua ini menyatu dalam kelelahan mental yang akut, membuat setiap upaya untuk fokus terasa seperti memeras tenaga dari sumur yang kering.

Di tengah semua itu, konflik internal tak henti-hentinya berkecamuk. Antara keinginan kuat untuk menyelesaikan studi dengan kenyataan pahit bahwa tubuh dan pikiran ini seolah enggan bekerja sama. Suara-suara di kepala yang meragukan kemampuan diri, bisikan putus asa yang menyuruh menyerah, menjadi musuh tak kasat mata yang terus menggerogoti. Pertanyaan "untuk apa semua ini?" seringkali muncul, membuat setiap jam yang dihabiskan untuk riset terasa sia-sia, menimbulkan keraguan besar akan masa depan dan arti dari perjuangan ini.

Paradoksnya, rutinitas konsultasi psikiater yang mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas mental, justru turut menjadi distraktor tersendiri. Setiap jadwal kunjungan berarti mengorbankan waktu berharga yang seharusnya bisa digunakan untuk menulis atau membaca. Proses menunggu di ruang tunggu, sesi terapi yang menguras emosi, dan terkadang perubahan dosis obat yang kembali memicu efek samping, semuanya menambah beban mental dan fisik. Meskipun saya tahu ini adalah bagian krusial dari upaya penyembuhan, namun secara emosional, frekuensi kunjungan tersebut terasa seperti pengingat konstan akan kondisi saya, sebuah interupsi yang tak terhindarkan dalam upaya keras untuk kembali fokus pada tujuan akhir.

Di tengah badai internal yang melanda, tekanan eksternal tak kalah gencar menghimpit. Keluarga, yang seharusnya menjadi jangkar, justru seringkali menjadi sumber turbulensi tersendiri. Suami, dengan segala tantrum dan perilaku di luar nalar, menambah lapisan stres yang tebal. Setiap pertengkaran kecil terasa seperti pukulan telak yang membuat saya kehilangan arah. Keinginan untuk menciptakan lingkungan yang stabil bagi keluarga seringkali berbenturan dengan kenyataan bahwa saya sendiri sedang berjuang keras menjaga stabilitas diri. Ini adalah medan perang ganda: berjuang melawan penyakit di dalam, sambil mencoba menangkis serbuan konflik dari luar.

Tidak hanya dari lingkungan terdekat, ekspektasi diri sendiri juga menjadi beban yang semakin memperberat kondisi mental. Citra diri sebagai individu yang kompeten, cerdas, dan mampu menyelesaikan apa pun yang dimulai, kini berhadapan dengan kenyataan pahit. Saya seringkali membandingkan diri dengan rekan-rekan seperjuangan yang tampak lancar melangkah, sementara saya merasa terperangkap. Harapan untuk menjadi teladan, baik bagi keluarga maupun diri sendiri, justru menjadi cambuk yang tak henti memicu rasa bersalah dan malu, memperburuk lingkaran setan kecemasan dan depresi.

Maka, saya pun terperangkap dalam sebuah dilema yang menyakitkan: harapan orang terdekat agar disertasi ini cepat selesai versus kebutuhan pribadi akan waktu dan ruang untuk pemulihan. Ada tuntutan tak tertulis untuk segera "normal" kembali, untuk segera merampungkan tugas akhir ini demi kebanggaan keluarga dan masa depan yang cerah. Namun, jiwa dan raga ini berteriak meminta jeda, membutuhkan waktu untuk bernapas, pulih, dan membangun kembali kekuatan yang telah terkuras habis. Rasanya seperti didorong untuk berlari maraton saat kaki ini bahkan kesulitan untuk sekadar melangkah. Dilema ini menciptakan konflik batin yang tiada henti, seolah saya harus memilih antara memenuhi ekspektasi orang lain atau mendengarkan jeritan kebutuhan diri sendiri yang kian mendesak.

Di tengah pusaran konflik internal dan eksternal, satu-satunya cara untuk tetap bertahan adalah dengan mencari jalan tengah. Saya mulai menyadari bahwa melanjutkan dengan cara yang sama hanya akan membawa saya lebih dalam ke jurang keputusasaan. Langkah pertama adalah menerima keterbatasan diri; sebuah realisasi pahit namun esensial bahwa saya tidak bisa memaksakan diri seperti dulu. Ini bukan menyerah, melainkan sebuah bentuk penerimaan yang justru menjadi fondasi bagi pemulihan dan strategi baru. Saya harus belajar untuk berdamai dengan kenyataan bahwa progres akan berjalan lebih lambat, dan itu tidak apa-apa.

Dari sana, saya mulai menerapkan strategi manajemen waktu yang lebih realistis dan fleksibel. Bukan lagi mengejar target ideal yang menguras energi, melainkan memecah tugas-tugas besar menjadi bagian-bagian yang sangat kecil dan lebih mudah dicerna. Jika dulu saya menargetkan menulis lima halaman sehari, kini saya bahagia jika bisa menyelesaikan satu paragraf, atau bahkan sekadar membaca satu artikel. Prioritas utama adalah konsistensi, bukan kuantitas. Hari-hari buruk tetap ada, namun di hari-hari yang lebih baik, saya mencoba memaksimalkan waktu tanpa memaksakan diri hingga ambang batas kelelahan. Istirahat menjadi bagian tak terpisahkan dari jadwal, bukan sekadar jeda jika ada waktu luang.

Komunikasi yang jujur dengan pembimbing disertasi menjadi pilar penting lainnya. Awalnya terasa menakutkan, namun menjelaskan kondisi kesehatan dan tantangan yang dihadapi ternyata membuka pintu pemahaman dan dukungan. Mereka tidak hanya memberikan kelonggaran waktu, tetapi juga saran-saran praktis yang mempertimbangkan kondisi saya. Ini mengurangi beban ekspektasi dan memberikan ruang bagi saya untuk bernapas. Tak kalah vital adalah peran support system. Keluarga dan beberapa teman dekat, yang saya izinkan untuk memahami kondisi saya, menjadi tempat bersandar saat badai datang. Sekadar percakapan singkat, dukungan emosional, atau bahkan bantuan praktis dalam hal-hal kecil, menjadi bahan bakar untuk terus melangkah maju. Mereka adalah pengingat bahwa saya tidak sendirian dalam perjuangan ini, dan ada orang-orang yang peduli.

Perjalanan menyelesaikan disertasi di tengah Diagnosis F32.3 ini bukan sekadar tentang meraih gelar doktor; ini adalah sebuah perjalanan pendewasaan diri yang paling intens dan tak terduga. Setiap tantangan, setiap episode kemunduran, dan setiap upaya untuk bangkit adalah pelajaran berharga yang mengukir ketahanan dalam jiwa. Saya belajar bahwa kekuatan sejati tidak selalu terletak pada kemampuan untuk tidak pernah jatuh, melainkan pada keberanian untuk bangkit kembali, berkali-kali. Ini adalah bukti bahwa dari titik terendah sekalipun, selalu ada celah bagi harapan untuk menyelinap masuk, asalkan kita mau mencarinya.

Kepada siapa pun yang sedang berjuang, baik dengan kesehatan mental atau tantangan hidup lainnya, saya ingin sampaikan ini dengan lugas: kesehatan mental adalah prioritas utama, bukan kelemahan. Meminta bantuan, mencari pengobatan, atau sekadar beristirahat saat lelah bukanlah tanda kekalahan, melainkan sebuah tindakan keberanian dan bentuk cinta terhadap diri sendiri. Stigma yang melekat pada isu kesehatan mental seringkali menjadi beban tambahan yang tak perlu; mari kita hancurkan stigma itu bersama. Mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja adalah langkah pertama menuju pemulihan dan kekuatan yang lebih besar.

Terakhir, dan mungkin yang terpenting: bersikaplah welas asih terhadap diri sendiri. Di tengah tuntutan hidup yang serba cepat dan ekspektasi yang tinggi, mudah sekali kita menjadi kritikus terkejam bagi diri sendiri. Izinkan diri Anda untuk merasa, untuk berjuang, dan untuk menjadi tidak sempurna. Berikan diri Anda ruang untuk pulih, untuk bernapas, dan untuk belajar dari setiap jatuh bangun. Perjalanan ini mungkin panjang dan berliku, tetapi dengan menerima diri apa adanya dan memprioritaskan kesejahteraan mental, kita akan menemukan kekuatan yang tak terduga untuk terus melangkah maju, selangkah demi selangkah, menuju cahaya di ujung terowongan.

Artikel ini bukan hanya sebuah kisah pribadi, melainkan sebuah seruan penting: perhatian terhadap kesehatan mental adalah sebuah keharusan, terutama di lingkungan akademis yang seringkali penuh tekanan. Ekspektasi tinggi, persaingan ketat, dan beban tugas yang masif seringkali menciptakan atmosfer yang bisa menggerus kesejahteraan mental. Kita perlu memahami bahwa di balik setiap gelar dan publikasi, ada individu dengan perjuangan internalnya masing-masing.

Kondisi kesehatan mental adalah nyata. Ini bukan sekadar alasan, bukan kelemahan karakter, dan bukan sesuatu yang bisa diatasi hanya dengan "berpikir positif." Depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya adalah kondisi medis yang membutuhkan perhatian khusus, diagnosis yang tepat, dan penanganan profesional. Mengabaikannya hanya akan memperburuk keadaan.

Oleh karena itu, dukungan lingkungan menjadi krusial. Institusi akademis, pembimbing, rekan sejawat, dan keluarga perlu membangun ekosistem yang empatik dan suportif. Menciptakan ruang aman untuk berbicara, menyediakan akses ke layanan kesehatan mental, dan mengurangi stigma adalah langkah-langkah konkret yang harus kita ambil bersama. Terakhir, dan tak kalah penting, adalah penerimaan diri. Bagi mereka yang berjuang, mengenali dan menerima bahwa Anda sedang tidak baik-baik saja adalah langkah pertama menuju pemulihan. Beri diri Anda izin untuk tidak sempurna, untuk beristirahat, dan untuk meminta bantuan. Kesehatan mental adalah prioritas, dan merawatnya adalah bentuk kekuatan, bukan kelemahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun