Mohon tunggu...
Mimie
Mimie Mohon Tunggu... .

.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Perjuangan Menyelesaikan Tugas Akhir di Tengah Diagnosis F32.3

22 Juli 2025   10:57 Diperbarui: 22 Juli 2025   10:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sana, saya mulai menerapkan strategi manajemen waktu yang lebih realistis dan fleksibel. Bukan lagi mengejar target ideal yang menguras energi, melainkan memecah tugas-tugas besar menjadi bagian-bagian yang sangat kecil dan lebih mudah dicerna. Jika dulu saya menargetkan menulis lima halaman sehari, kini saya bahagia jika bisa menyelesaikan satu paragraf, atau bahkan sekadar membaca satu artikel. Prioritas utama adalah konsistensi, bukan kuantitas. Hari-hari buruk tetap ada, namun di hari-hari yang lebih baik, saya mencoba memaksimalkan waktu tanpa memaksakan diri hingga ambang batas kelelahan. Istirahat menjadi bagian tak terpisahkan dari jadwal, bukan sekadar jeda jika ada waktu luang.

Komunikasi yang jujur dengan pembimbing disertasi menjadi pilar penting lainnya. Awalnya terasa menakutkan, namun menjelaskan kondisi kesehatan dan tantangan yang dihadapi ternyata membuka pintu pemahaman dan dukungan. Mereka tidak hanya memberikan kelonggaran waktu, tetapi juga saran-saran praktis yang mempertimbangkan kondisi saya. Ini mengurangi beban ekspektasi dan memberikan ruang bagi saya untuk bernapas. Tak kalah vital adalah peran support system. Keluarga dan beberapa teman dekat, yang saya izinkan untuk memahami kondisi saya, menjadi tempat bersandar saat badai datang. Sekadar percakapan singkat, dukungan emosional, atau bahkan bantuan praktis dalam hal-hal kecil, menjadi bahan bakar untuk terus melangkah maju. Mereka adalah pengingat bahwa saya tidak sendirian dalam perjuangan ini, dan ada orang-orang yang peduli.

Perjalanan menyelesaikan disertasi di tengah Diagnosis F32.3 ini bukan sekadar tentang meraih gelar doktor; ini adalah sebuah perjalanan pendewasaan diri yang paling intens dan tak terduga. Setiap tantangan, setiap episode kemunduran, dan setiap upaya untuk bangkit adalah pelajaran berharga yang mengukir ketahanan dalam jiwa. Saya belajar bahwa kekuatan sejati tidak selalu terletak pada kemampuan untuk tidak pernah jatuh, melainkan pada keberanian untuk bangkit kembali, berkali-kali. Ini adalah bukti bahwa dari titik terendah sekalipun, selalu ada celah bagi harapan untuk menyelinap masuk, asalkan kita mau mencarinya.

Kepada siapa pun yang sedang berjuang, baik dengan kesehatan mental atau tantangan hidup lainnya, saya ingin sampaikan ini dengan lugas: kesehatan mental adalah prioritas utama, bukan kelemahan. Meminta bantuan, mencari pengobatan, atau sekadar beristirahat saat lelah bukanlah tanda kekalahan, melainkan sebuah tindakan keberanian dan bentuk cinta terhadap diri sendiri. Stigma yang melekat pada isu kesehatan mental seringkali menjadi beban tambahan yang tak perlu; mari kita hancurkan stigma itu bersama. Mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja adalah langkah pertama menuju pemulihan dan kekuatan yang lebih besar.

Terakhir, dan mungkin yang terpenting: bersikaplah welas asih terhadap diri sendiri. Di tengah tuntutan hidup yang serba cepat dan ekspektasi yang tinggi, mudah sekali kita menjadi kritikus terkejam bagi diri sendiri. Izinkan diri Anda untuk merasa, untuk berjuang, dan untuk menjadi tidak sempurna. Berikan diri Anda ruang untuk pulih, untuk bernapas, dan untuk belajar dari setiap jatuh bangun. Perjalanan ini mungkin panjang dan berliku, tetapi dengan menerima diri apa adanya dan memprioritaskan kesejahteraan mental, kita akan menemukan kekuatan yang tak terduga untuk terus melangkah maju, selangkah demi selangkah, menuju cahaya di ujung terowongan.

Artikel ini bukan hanya sebuah kisah pribadi, melainkan sebuah seruan penting: perhatian terhadap kesehatan mental adalah sebuah keharusan, terutama di lingkungan akademis yang seringkali penuh tekanan. Ekspektasi tinggi, persaingan ketat, dan beban tugas yang masif seringkali menciptakan atmosfer yang bisa menggerus kesejahteraan mental. Kita perlu memahami bahwa di balik setiap gelar dan publikasi, ada individu dengan perjuangan internalnya masing-masing.

Kondisi kesehatan mental adalah nyata. Ini bukan sekadar alasan, bukan kelemahan karakter, dan bukan sesuatu yang bisa diatasi hanya dengan "berpikir positif." Depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya adalah kondisi medis yang membutuhkan perhatian khusus, diagnosis yang tepat, dan penanganan profesional. Mengabaikannya hanya akan memperburuk keadaan.

Oleh karena itu, dukungan lingkungan menjadi krusial. Institusi akademis, pembimbing, rekan sejawat, dan keluarga perlu membangun ekosistem yang empatik dan suportif. Menciptakan ruang aman untuk berbicara, menyediakan akses ke layanan kesehatan mental, dan mengurangi stigma adalah langkah-langkah konkret yang harus kita ambil bersama. Terakhir, dan tak kalah penting, adalah penerimaan diri. Bagi mereka yang berjuang, mengenali dan menerima bahwa Anda sedang tidak baik-baik saja adalah langkah pertama menuju pemulihan. Beri diri Anda izin untuk tidak sempurna, untuk beristirahat, dan untuk meminta bantuan. Kesehatan mental adalah prioritas, dan merawatnya adalah bentuk kekuatan, bukan kelemahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun