Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Sarjana Ekonomi Universitas Negeri Malang, suka menulis tentang ekonomi dan puisi, pegiat literasi keuangan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Meriahnya Tradisi Sahur di Desa: Antara Nostalgia dan Kontroversi

3 April 2024   12:00 Diperbarui: 4 April 2024   07:19 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sahur. sumber: freepik

Bulan Ramadan, bulan penuh berkah dan rahmat, tiba lagi. Bagi umat Muslim di seluruh dunia, bulan ini adalah momen yang dinantikan dengan penuh kegembiraan dan harapan. 

Di Indonesia, tradisi Ramadan membawa nuansa tersendiri, terutama di pedesaan, di mana kebersamaan dan solidaritas antar sesama muslim terasa begitu kuat. 

Salah satu momen yang sangat khas dan meriah adalah saat sahur, di mana para pemuda desa dengan semangatnya membangunkan warga untuk menunaikan ibadah sahur.

"Sahur, sahur... sahur..." terdengar suara riuh rendah pemuda-pemuda desa yang bergumul dengan rindunya untuk membangunkan orang sahur. 

Suara itu membawa kenangan manis tentang masa kecil di desa, di mana momen membangunkan sahur menjadi begitu meriah. 


Dulu, saat kecil, saya bahkan membuat beduk dari sisa karung semen untuk membangunkan sahur, sementara yang lain membawa kentongan dari bambu.

Bulan Ramadan di desa bukan hanya tentang puasa dan pahala, tapi juga tentang tradisi khas yang menghangatkan hati.

Membangunkan sahur bukanlah monopoli desa saya. Di seluruh Indonesia, tradisi ini turut menjadi bagian dari budaya Ramadan. 

Bagi sebagian orang, teriakan "sahur-sahur" menjadi ciri khas yang sangat dinantikan saat Ramadan tiba. Namun, tidak bisa dipungkiri, ada juga yang merasa terganggu dengan teriakan dan tetabuhan yang terlalu berlebihan. 

Budaya membangunkan sahur tidak hanya ditemui di Indonesia, namun juga ada di negara-negara Arab atau Timur Tengah. Meskipun, tentu saja dengan nuansa yang berbeda.

Pro dan kontra terhadap tradisi membangunkan sahur masih sering terjadi. Namun, dalam Islam, mengajak sahur atau beribadah adalah hal yang baik. 

Ada aturan adab yang harus diperhatikan ketika membangunkan sahur atau mengajak orang lain beribadah. Tapi, bagaimana pun, tradisi membangunkan sahur adalah bagian dari identitas budaya yang melekat kuat pada masyarakat di banyak negara Muslim.

Di balik kontroversi dan perbedaan pandangan, tradisi membangunkan sahur adalah suatu bentuk kebersamaan dan kepedulian antar sesama muslim. Itulah yang membuatnya begitu berharga dan layak dipertahankan. 

Momen-momen seperti ini juga menjadi pengingat akan betapa beruntungnya kita memiliki budaya yang kaya dan meriah di bulan Ramadan. Maka, mari kita nikmati dan lestarikan tradisi ini dengan penuh kehangatan dan saling pengertian.

Kembali ke Akar Tradisi

Untuk lebih memahami signifikansi dan kedalaman tradisi membangunkan sahur, kita perlu melihatnya dari perspektif sejarah dan budaya. Tradisi ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan telah tertanam dalam budaya masyarakat sejak zaman dahulu kala.

Di masa Rasulullah Muhammad SAW, membangunkan sahur merupakan praktik yang sangat dianjurkan. 

Rasulullah sendiri pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang sahur." (HR. Ahmad). 

Dari hadits ini, kita dapat memahami betapa pentingnya menjaga tradisi sahur sebagai bagian dari ibadah Ramadan.

Namun, bentuk membangunkan sahur bisa berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan dan budaya masyarakat setempat. 

Di Indonesia, teriakan dan tetabuhan memang menjadi cara yang paling umum digunakan untuk membangunkan sahur, terutama di desa-desa. 

Namun, di negara-negara Arab atau Timur Tengah, tradisi ini mungkin lebih tenang, dengan panggilan azan yang berkumandang di masjid-masjid sebagai tanda dimulainya waktu sahur.

Kontroversi dan Tantangan

Meskipun memiliki nilai-nilai positif, tradisi membangunkan sahur juga tidak luput dari kontroversi. 

Beberapa orang berpendapat bahwa teriakan dan tetabuhan yang terlalu keras dapat mengganggu ketenangan dan kenyamanan orang lain yang sedang tidur. 

Apalagi di perkotaan, di mana kepadatan penduduk dan keberagaman aktivitas membuat suasana lebih rentan terganggu.

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa tradisi membangunkan sahur adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Indonesia. 

Hal ini diperkuat dengan semangat kebersamaan dan kepedulian yang tercipta ketika masyarakat saling membangunkan satu sama lain untuk sahur. 

Tradisi ini juga menjadi momen penting untuk mempererat tali silaturahmi dan meningkatkan solidaritas antar warga.

Namun, dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk menemukan keseimbangan. 

Bagaimana kita dapat mempertahankan tradisi yang berharga tanpa mengganggu kenyamanan dan kebutuhan orang lain? Inilah yang menjadi panggilan untuk kita semua.

Pencarian Keseimbangan

Untuk menemukan solusi yang tepat, kita perlu melibatkan semua pihak yang terkait. Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, agama, serta masyarakat luas dapat berkolaborasi untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Salah satu alternatif yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan menggunakan teknologi sebagai sarana membangunkan sahur. 

Misalnya, penggunaan aplikasi atau pesan singkat untuk mengingatkan waktu sahur kepada warga yang terdaftar secara sukarela. Dengan demikian, kita dapat menjaga tradisi membangunkan sahur tanpa harus mengganggu ketenangan orang lain.

Selain itu, pendekatan edukasi juga penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersamaan dan kepedulian dalam tradisi membangunkan sahur. 

Dengan memberikan pemahaman yang baik, diharapkan masyarakat akan lebih menghargai tradisi ini dan menjalankannya dengan lebih bijak.

Keindahan dalam Keberagaman

Bagi banyak orang, Ramadan adalah waktu untuk merayakan keberagaman budaya dan tradisi. 

Meskipun ada perbedaan dalam cara menjalankan ibadah, namun semangat yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kualitas spiritual tetap ada.

Tradisi membangunkan sahur adalah salah satu contoh nyata dari keberagaman budaya yang kaya di Indonesia. 

Meskipun bisa berbeda dari satu tempat ke tempat lain, namun esensi dari tradisi ini tetap sama, yaitu membangun kebersamaan dan solidaritas dalam menjalani ibadah Ramadan.

Sebagai bangsa yang memiliki motto "Bhinneka Tunggal Ika", keberagaman adalah salah satu kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia. 

Ramadan adalah momen yang tepat untuk merayakan keberagaman ini dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan dan inspirasi bagi kita semua.

Kesimpulan

Bulan Ramadan adalah waktu yang istimewa di mana umat Muslim di seluruh dunia bersatu dalam ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT. 

Tradisi membangunkan sahur, meskipun kadang kontroversial, tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Ramadan, terutama di desa-desa Indonesia.

Membangunkan sahur adalah lebih dari sekadar kegiatan fisik untuk mengingatkan waktu sahur, tapi juga merupakan wujud kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas antar sesama muslim. 

Penting bagi kita untuk menjaga tradisi ini dengan bijak, sambil tetap memperhatikan kebutuhan dan kenyamanan orang lain.

Dalam keberagaman budaya dan tradisi, mari kita jadikan Ramadan sebagai momen untuk merayakan persatuan dan kebersamaan. 

Dengan begitu, kita dapat mengalami keindahan dan kedamaian yang sejati dalam menjalani ibadah Ramadan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun