Mohon tunggu...
Mira Rahmawati
Mira Rahmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Pemula

Belum tahu apa-apa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak Semangkok Bubur

27 September 2020   06:19 Diperbarui: 27 September 2020   06:42 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freepik by Akiromaru

Menjelang pagi kami membungkuk-bungkuk
Mencari alas atau tempat yang bisa diduduki
Melawan sergapan angin dingin kemarau
Juga kantuk yang masih memeluk
demi semangkuk bubur nasi
yang bau hangatnya menggoda kerongkongan

Jika keadaan baik, diberilah
potongan wortel atau bayam
Meski yang terpenting,  
aroma gurih bawang yang meresap pada tiap suapan
Juga kehangatannya yang seakan menyelimuti badan kami.

Dari semua momen sehari
Kami bahagia jam-jam itu
Menunggu ia datang
Kadang berjam-jam sebelumnya
Bercerita
Menelan ludah sambil membayangkan
orang itu membawa panci besar dari mobil tuanya
Yang langsung dibantu oleh beberapa orang dari kami
Ketika dicedoki dan bubur tinggal sedikit
Panci dimiringkan
Aduan centong dan dinding panci bersuara "tektek" atau "tengteng"
bergantung menurut siapa
yang jelas kami sudah paham,
Suaranya, ritmenya, bentuk centong gagang kayunya, dan
Jelas orang itu
Mungkin ia seorang wali
Atau orang baik biasa
Tak ada orang yang tahu siapa ia
Tak pula kami berani mengacungkan tanya, Jika ia senyum kami balas senyumnya
Jika ia tanya, kami jawab dengan anggukan.
Kami hanya tahu apa yang kami lihat.
Keriting dan botak di tengah, keriput, pendek, kulit bersih dan gigi yang masih baik dari seusianya.
Dari jauh kami pun tahu suara knalpotnya.
Tak ada yang tahu jam pasti
Ia biasanya datang hampir bersamaan dengan matahari
Namun mendung ini membuat kami bingung
Rasanya lebih lama menunggu
Orang-orang pun mulai ramai lalu lalang
Yang bekerja atau yang olah raga
Tapi rasa lapar membuat kami menanam diri di tempat itu
bayangan bubur itu pun sungguh mengganggu
seperti hiungan nyamuk yg susah ditangkap.
Kami saling tatap dan mencoba menenangkan pikiran.
Ia pernah telat, dan tentu hal wajar.
Sebagian kami duduk-duduk, sebagian rebahan karena ngantuk.
Sesaat kemudian,
Mungkin ia takkan datang, kata seorang
Kemungkinan yang jelas mengkhwatirkan kami,
yang makan sehari sekali.
Seorang bangkit, pergi
Lalu seorang lain mengikuti.
Tak ada kontrak antara kami atau dengan orang tua itu
Tapi pergeseran kecil rutinitas kadang terlalu menggelisahkan
seperti pagi tanpa matahari ini.
Kami mencoba menunggu lagi
dan balon khawatir pun akhirnya meletup

Suara itu muncul
Semua mata di sana berbinar.
Kuhampiri mobil di perhentian dengan sigap.
Tapi alangkah kaget,
Yang keluar bukan orang tua itu lagi
Kami semua membeku
Lalu perlahan bergerak macam es yang mencair
Bubur yang kuharapkan pun tiba
Jam orang itu menunjukkan bahwa rutinitas kami menunggak satu jam
Sekali lagi, tiada pertanyaan menyembul.
Kami mengantri dan bubur mulai dibagikan
Sangat mengesalkan karena
seperti tak ada yang melenceng.
Kutunggu giliran, mirip gerbong kereta paling belakang
Bubur itu mengepul dari jauh
Mencoba mengalihkan dari pikiran pada orang tua itu
"Toh memang buburlah yang jadi tujuanku."

Tiba giliran, secentong bubur menyapa,
tetapi begitu asing
potongan daging mewarnai polosnya bubur itu, alih-alih wortel atau bayam yang juga jarang hadir.
Tak sadar aku menyengir ketika orang baru itu memandang dan tersenyum agak kaku.

Lalu aku pergi dari hadapannya sambil
lamat-lamat memperhatikan bubur itu.
Hari ini sungguh aneh
Kejutan yang tak kukira ada.
Yang sepenuhnya tidak kunanti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun