Menikah bukan sekadar tentang cinta, tetapi juga tentang bertahan hidup di tengah absurditas kehidupan rumah tangga. Jika Nietzsche mengatakan "Tuhan telah mati," maka dalam pernikahan, seorang suami terkadang mengalami "kematian eksistensial" saat berhadapan dengan realitas yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Inilah yang disebut sebagai "Suami Filsuf Tragikomedi," sebuah peran yang menggabungkan kebijaksanaan filsafat dengan komedi yang lahir dari dinamika kehidupan sehari-hari.
Banyak yang berpikir bahwa menjadi suami itu seperti menjadi seorang Zen Master: tetap tenang di tengah badai, menghadapi omelan dengan kepala dingin, dan tidak mudah terprovokasi oleh perubahan suasana hati istri yang kadang tak terduga. Namun, dalam praktiknya, bahkan seorang Zen Master pun bisa kehilangan ketenangannya ketika dihadapkan pada realitas yang tak bisa dinegosiasi, seperti keinginan istri yang berubah-ubah dalam hitungan menit. Misalnya, ketika suami ditanya ingin makan apa, ia menjawab "terserah," tapi kemudian semua pilihannya justru salah di mata istri. Inilah realitas yang tak bisa dihindari.
Ada suatu cerita, sepulang kerja, tubuh lelah dan ingin beristirahat sejenak. Tapi istri yang sedang hamil dengan penuh semangat ingin memasak untuk suaminya, meskipun ia sendiri mengeluh kelelahan. Ketika sang suami menawarkan solusi, "Nggak usah masak, beli saja di luar," jawabannya, "Kita kan sudah belanja, masa dibuang?" Alternatif lain ditawarkan, namun tetap ditolak. Pada akhirnya, sang istri tetap memasak sambil mengomel karena kelelahan. Suami membantu? Tetap salah. Diam? Dibilang tidak peka. Berbicara? Dituduh membentak. Inilah titik di mana pemikiran Nietzsche masuk: apakah ini kehendak untuk berkuasa atau sekadar kehendak untuk bertahan hidup?
Dalam situasi seperti ini, banyak yang mencoba menerapkan prinsip stoikisme. Apakah akan dikendalikan atau mengendalikan? Yang paling aman adalah menerima segalanya sebagaimana adanya, tanpa perlawanan. Duduk tenang, mengamati situasi, membiarkan badai hormonal mereda dengan sendirinya. Namun, ternyata diam pun bukan solusi.
"Mas kok diam saja? Aku tuh butuh didengar!"
Menyadari bahwa strategi pasif tidak berhasil, beberapa suami beralih ke pendekatan lain: humor.
"Sayang, kamu ini kayak Socrates. Sering bertanya, tapi jawabannya selalu menjebak."
Tatapan tajam mungkin sempat muncul, tetapi tak lama kemudian, tawa pun pecah. Entah karena lucu atau karena sudah lelah marah-marah, yang jelas ketegangan mencair.
Ada pula yang berpikir bahwa memiliki anak perempuan akan menjadi game changer dalam kehidupan rumah tangga. Seorang putri kecil yang bisa menjadi sekutu dan pelindung dalam menghadapi tekanan domestik. Ketika istri mulai memarahi tanpa alasan yang jelas, suami bisa bersandar pada anak dan berkata, "Nak, tolong jelaskan ke ibumu kalau ayah tidak bersalah."
Namun, seorang teman menertawakan strategi semacam ini. "Lo kira anak perempuan bakal bela lo? Justru nanti dia bakal ikutan ibunya!"