Perspektif baru yang jarang terpikirkan sebelumnya. Bisa saja, alih-alih menjadi sekutu, anak justru memperkuat otoritas sang istri. Bayangkan skenario di mana seorang suami dalam posisi terpojok, lalu anak dengan suara lembut tapi tegas berkata, "Iya, Ayah salah."
Pada akhirnya, memiliki anak perempuan bukan tentang mencari sekutu, melainkan tentang belajar mencintai tanpa syarat. Jika istri adalah ujian hidup, maka anak adalah hadiah dari kesabaran itu.
Jika Nietzsche berbicara tentang "kematian Tuhan," maka dalam rumah tangga, ada konsep lain yang sering terjadi: "kematian suami." Ini bukan kematian dalam arti harfiah, melainkan hilangnya otonomi dan kebebasan individu. Seorang suami terkadang bukan lagi entitas independen, melainkan bagian dari sistem yang diatur oleh kompromi dan tanggung jawab.
Namun, justru dalam keterbatasan ini, banyak yang menemukan kebebasan sejati. Seperti seorang pelukis yang hanya memiliki tiga warna di paletnya, tetapi mampu menciptakan lukisan yang indah, atau seorang musisi yang hanya bisa memainkan satu instrumen tetapi tetap menciptakan melodi yang menggugah. Kebebasan dalam keterbatasan bukan berarti menyerah, melainkan menemukan cara untuk beradaptasi dan tetap merasakan makna dalam setiap tantangan. Bebas dari ego yang ingin selalu benar, bebas dari ekspektasi yang tidak realistis, dan bebas untuk mencintai dengan tulus tanpa perlu selalu mencari pembenaran. Seorang suami mungkin kehilangan kebebasan mutlaknya, tetapi ia mendapatkan kebebasan dalam makna yang lebih dalam: kebebasan untuk memilih bertahan dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.
Pada akhirnya, hidup ini memang tragikomedi. Dalam ketidakpastian yang melekat pada pernikahan, ada kebebasan eksistensial yang justru ditemukan bukan dalam kendali mutlak, tetapi dalam keberanian menerima absurditas dan tetap memilih untuk menciptakan makna. Seorang suami mungkin tidak pernah benar-benar tahu apakah keputusannya akan diterima dengan baik atau justru menimbulkan konflik baru. Namun, di sinilah letak esensinya: seperti seorang eksistensialis yang harus menerima absurditas dunia dan tetap bertindak, seorang suami juga harus menerima bahwa pernikahan adalah ruang tanpa kepastian mutlak, tetapi tetap dipenuhi kemungkinan untuk menciptakan kebahagiaan bersama. Ada momen-momen frustrasi yang membuat ingin menyerah, tetapi juga ada kebahagiaan kecil yang muncul tanpa diduga. Mungkin inilah alasan banyak yang tetap bertahan: karena di balik semua kekacauan ini, ada makna yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang cukup sabar untuk mencarinya.
Menikah itu seperti memahami eksistensialisme. Tidak selalu ada kendali penuh atas situasi, tetapi selalu ada pilihan dalam cara meresponsnya. Eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia harus menciptakan maknanya sendiri, begitu pula dalam pernikahan. Mungkin tidak ada suami yang sempurna, tetapi selalu ada suami yang berusaha memahami. Dan mungkin, dalam ketidakpastian inilah tersembunyi kebahagiaan sejati.
Jadi, bagi mereka yang merasa hidupnya adalah perpaduan antara tragedi dan komedi, ingatlah satu hal: menikahlah. Jika menemukan istri yang baik, maka kebahagiaan akan datang. Jika tidak, maka setidaknya, filsafat akan menjadi pelarian yang menyelamatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI