Momen Pagi yang Mengajarkan Ketenangan
Pada suatu pagi yang biasa, saya berangkat menuju kantor, terjebak dalam kemacetan yang tidak terhindarkan. Terlepas dari segala usaha untuk memulai hari lebih awal, situasi itu memaksa saya untuk menerima kenyataan bahwa saya terlambat masuk kerja. Klakson-klakson kendaraan di sekeliling saya terus berteriak, seolah-olah memberi tekanan untuk bergerak lebih cepat, meski kenyataannya, kemacetan yang saya hadapi tidak memungkinkan saya untuk melaju.
Dalam kebanyakan situasi serupa, banyak orang mungkin akan merasa frustrasi, marah, atau bahkan cemas. Namun, pada pagi itu, saya memilih untuk tetap tenang. Saya menyadari bahwa dalam situasi yang tidak bisa saya kendalikan, tidak ada gunanya merespons dengan perasaan yang berlebihan. Hal ini membawa saya pada sebuah pemahaman yang lebih dalam, yakni penerapan filsafat Stoa dalam kehidupan sehari-hari.
Menghadapi Kemacetan dengan Ketahanan Mental
Filsafat Stoa, yang berkembang pada abad ke-3 SM di Yunani, mengajarkan kita untuk memisahkan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan hal-hal yang di luar kendali kita. Filsafat ini menekankan pentingnya memiliki ketenangan batin, terutama dalam menghadapi kesulitan atau keadaan yang tidak ideal. Dalam konteks kemacetan ini, saya menyadari bahwa saya tidak bisa mengubah situasi kemacetan itu. Klakson kendaraan yang berteriak atau perasaan frustrasi saya tidak akan mempercepat jalanan yang macet. Yang bisa saya kontrol hanyalah sikap saya terhadap situasi tersebut—apakah saya akan melawan atau menerima dengan ketenangan?
Tokoh-tokoh penting dalam aliran filsafat Stoa, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, mengajarkan kita untuk fokus pada reaksi kita terhadap situasi. Epictetus mengingatkan kita bahwa,
“Tidak ada yang bisa mengganggu kita kecuali kita mengizinkannya.”
Dalam situasi kemacetan, saya memilih untuk tidak membiarkan kebisingan dan kerumitan tersebut mengganggu ketenangan batin saya. Meskipun dunia di luar tidak bergerak, saya bisa memilih untuk tetap tenang dan santai.
Mengendalikan Apa yang Bisa Dikendalikan
Filosofi Stoa menekankan pentingnya mengenali hal-hal yang dapat kita kontrol dan hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Kemacetan, klakson, bahkan keterlambatan masuk kerja, adalah contoh dari hal-hal yang berada di luar kendali kita. Namun, perasaan kita terhadap situasi itu, sikap kita, dan cara kita meresponsnya adalah hal-hal yang sepenuhnya berada dalam kendali kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjebak dalam hal-hal yang kita anggap penting dan mempengaruhi hidup kita, seperti pekerjaan, hubungan, atau prestasi. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa ada banyak hal yang tidak bisa kita ubah, dan kadang-kadang kita hanya perlu menerima kenyataan dan fokus pada tindakan yang dapat kita lakukan.
Seneca, seorang filsuf Stoa lainnya, pernah mengatakan,
Baca juga: Socrates Bertanya, Guru Zoom Menjawab“Kita tidak kesulitan dengan hal-hal yang terjadi pada kita, tetapi dengan cara kita meresponnya.”
Saya menyadari bahwa dengan tetap tenang dan menerima kenyataan bahwa saya terjebak macet, saya menghindari terjebak dalam spiral frustrasi yang hanya akan memperburuk keadaan. Saya memilih untuk fokus pada hal-hal yang bisa saya lakukan, seperti melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih tenang begitu kendaraan mulai bergerak.
Belajar dari Setiap Situasi
Pengalaman ini menjadi sebuah refleksi bagi saya, bahwa hidup sering memberikan kita “kemacetan” dalam berbagai bentuk, baik itu masalah di tempat kerja, hubungan yang tidak berjalan mulus, atau bahkan tantangan pribadi yang tampaknya tidak ada ujungnya. Namun, apa yang membedakan kita adalah bagaimana kita meresponsnya. Filsafat Stoa mengajarkan kita bahwa tidak ada yang lebih berharga daripada memiliki ketenangan dalam menghadapi segala hal, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Pada akhirnya, klakson yang berteriak, kendaraan yang tidak bergerak, dan kemacetan yang menambah beban hidup menjadi simbol dari segala hal yang tidak bisa kita kendalikan. Tapi di balik itu semua, ada kesempatan untuk memilih bagaimana kita meresponsnya. Apakah kita akan membiarkan emosi kita meledak atau kita akan tetap tenang dan bijaksana? Itu adalah pilihan yang kita miliki setiap hari.
Ketenangan Batin sebagai Kekuatan
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa ketenangan batin bukan hanya sekadar sikap pasif, tetapi kekuatan yang dapat membantu kita mengatasi tantangan hidup. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marcus Aurelius,
"Kita tidak akan pernah bisa mengubah arah angin, tetapi kita bisa mengubah arah layar kapal kita."
Kita tidak bisa mengubah keadaan atau situasi yang menantang kita, tetapi kita bisa mengubah cara kita merespons dan berinteraksi dengan dunia tersebut.
Ketika kita merasa tertekan atau terjebak dalam situasi sulit, penting untuk mengingat bahwa kita memiliki kekuatan untuk memilih bagaimana kita meresponsnya. Dengan mengikuti ajaran filsafat Stoa, kita bisa menemukan kedamaian dalam ketidakterkendalian dan menjalani hidup dengan lebih bijaksana.
Refleksi dan Call to Action
Pada akhirnya, hidup ini penuh dengan ketidakpastian dan tantangan. Namun, dengan belajar untuk menerima hal-hal yang berada di luar kendali kita, serta menjaga ketenangan batin, kita dapat menghadapi segala situasi dengan lebih bijaksana. Ketika “klakson-klakson” kehidupan mulai berbunyi, kita bisa memilih untuk tetap tenang dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kontrol. Dengan cara ini, kita akan lebih siap untuk menjalani hidup yang penuh makna, meskipun di tengah kebisingan dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI