Selain edukasi, perlindungan hukum terhadap perempuan korban pernikahan dini dan janda muda perlu diperkuat. Pemerintah desa bisa mengoptimalkan regulasi perlindungan perempuan dan anak, membentuk posko pengaduan kekerasan rumah tangga, serta menyediakan akses pelatihan keterampilan bagi perempuan agar mandiri secara ekonomi.
Bahkan lebih jauh, sekolah dan pesantren perlu mengambil peran aktif dalam memberikan kurikulum kesehatan reproduksi, pentingnya pendidikan hingga tuntas, dan bahaya pernikahan usia dini bagi masa depan perempuan dan anak-anak. Tidak mudah mengubah norma dan kebiasaan yang telah mengakar lama. Stigma sosial kerap menjadi penghalang utama upaya perubahan. Namun pengalaman langsung di lapangan menunjukkan harapan: semakin banyak anak muda, tokoh agama, dan masyarakat yang mulai terbuka terhadap diskusi isu perempuan.
Optimisme itu tidak datang tanpa kerja keras. Butuh perjuangan kolektif lintas elemen: pemerintah, akademisi, tenaga kesehatan, tokoh agama, dan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi perempuan. Komitmen bersama diperlukan agar generasi mendatang dapat tumbuh dalam lingkungan yang suportif, bebas stigma, dan penuh peluang memberdayakan diri.
Isu pernikahan dini di Lombok Utara---khususnya di Tanjung---adalah cerminan perjuangan perempuan Indonesia. Dunia pendidikan, kesehatan, dan agama harus hadir sebagai pelindung dan pemberdaya, bukan sekadar pengamat. Edukasi, regulasi, dan advokasi harus berjalan beriringan demi masa depan perempuan yang sehat, mandiri, dan bermartabat.
"Setiap perempuan berhak bermimpi dan mewujudkan masa depan, tanpa terhenti di pelaminan yang terlalu dini. Mari menjadi bagian dari perubahan, mulai dari langkah kecil: saling menguatkan dan saling mendengarkan."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI