Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Urgensi Religiositas Kehidupan (Sastra) di Balik Cerpen Kuntowijoyo

4 Januari 2016   19:12 Diperbarui: 5 Januari 2016   13:12 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini sepertinya agak sulit menemukan karya-karya dengan gaya konvensional yang realis, naratif, dan religius. Sastra yang mengeksplorasi masalah-masalah sosial yang kecil, remeh temeh, dekat dengan kita (manusia), dan lugu tetapi memiliki spektrum luas sehingga bisa membuat pembaca merenungi nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai semisal persahabatan, kekeluargaan, empati, toleransi, dan kepedulian sosial. Padahal, sejatinya sastra seperti ini yang paling dekat dengan manusia—muasal sastra itu sendiri.

Kecenderungan hilangnya genre sastra tersebut dipengaruhi salah satunya, barangkali satu-satunya, oleh jiwa zaman yang mendasarkan kehidupan (pengetahuan) pada informasi dan dunia digital. Karena pada zaman ini, domain utama sastra seperti masalah-masalah sosial, kemanusiaan, kemiskinan serta politik dan agama pada umumnya telah terwakili dalam berita, reality show, sinetron, status Facebook, Twitter, atau blog-blog. Berlimpah ruahnya informasi membuat sastra tenggelam di antara teks-teks yang tidak jarang bersifat hoax, juga asal-asalan, narsis, serta banal.

Semua kenyataan ini disadari betul oleh para sastrawan dan sekolompok orang serta individu yang peduli terhadap keberlangsungan hidup sastra. Dalam situasi serba-terancam dan terkucil mereka terus berjuang. Meski tak jarang banyak yang kehilangan nafas lalu kandas. Tapi perlawanan tak kunjung usai. Sebagai bukti, berkembang pesatnya kantung-kantung sastra berbasis komunitas di berbagai daerah dan lahirnya “sastra cyber” merupakan perjuangan supaya sastra tetap berfungsi sebagai penjaga kesadaran, dan tidak matinya sejarah sastra. Sebuah elan yang harus diapresiasi dan dibanggakan.

Namun itu saja belum cukup, karena untuk memenuhi khittah-nya sastra tidak melulu berhubungan dengan sebuah institusi dalam pengertian sosial-kultural. Sastra juga merupakan teks-teks yang di dalamnya memiliki gaya, tema, filosofi, pesan, ajaran, dan ideologi. Sastra adalah, menyitir Heidegger merupakan “rumah untuk mengada”. Oleh sebab itu, eksplorasi kebaruan estetis dan filosofis adalah urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. 

Revitalisasi Peran Kesusasteraan

Dalam mentalitas zaman seperti itu, sudah sepantasnya sastra pun mengalami revitalisasi. Revitalisasi terkait fungsi sastra sebagai sebuah jawaban dari kekeringan kehidupan batin manusia dan pelarian dari kerasnya hidup yang tak pernah lepas dari konflik, ataupun seperti yang dikatakan Pramoedya sebagai “penjaga kesadaran manusia dan kehidupan.” Maka sastra mau tak mau harus mempertimbangkan kembali kepada apa yang dinyatakan Mangunwijaya bahwa “kualitas sastra yang paling baik adalah selalu berjiwa religius” (Mangunwijaya: 1988).

Religius di sini memiliki pengertian bahwa sastra mampu menyuguhkan kandungan kadar religiusitasnya. Bukan religiusitas dalam arti formal keagamaan, melainkan dalam daya kemampuannya membuat orang bertanya pada dan tentang diri: apa maknanya, apa makna hidupnya? (Yudi Latif, 2009: 130).

Terkait kadar religius ini, apa yang sudah dilakukan Kuntowijoyo dalam cerpen-cerpennya mungkin bisa dijadikan model. Tentang bagaimana sastra mampu memiliki kadar religiusitas dan spritualitas yang kental tanpa kehilangan daya hibur sekaligus daya kritisnya. Sebagai contoh dalam “Rumah yang Terbakar” dalam antologi Pelajaran Pertama bagi Para Calon Politisi (Kompas: 2013) yang inti ceritanya adalah sebagai berikut;

Tersebutlah dua buah kampung yang saling bermusuhan, kampung utara dan kampung selatan. Namun permusuhan itu menjadi samar ketika Bu Kasmo mendirikan tempat hiburan di pinggir hutan. Ironisnya lokasi tempat hiburan itu dulunya bekas surau. Untuk menandinginya lahirnya maksiat dari rumah hiburan para santri dari kampung utara membangun mesjid. Lama-lama kampung tersebut semakin ramai dan (lebih) terkenal karena hiburan yang disajikan bu Kasmo. Ada tempat-tempat minum juga rumah bordil. Tentu saja hal ini membuat para santri tidak terima. Terutama ustadz mereka yang bernama Yulianto Ismail.

Ustadz Yulianto Ismail merasa tergerak untuk melakukan sesuatu. Terbersitlah dalam benaknya untuk membakar rumah hiburan tersebut. Pada suatu kesempatan ketika sudah memastikan tempat hiburan itu kosong, dan semua orang desa sudah terlelap ia menuangkan minyak tanah ke seluruh bangunan lalu membakarnya. Rumah hiburan hangus terbakar tanpa sisa. Kejadian ini membuat sebagian besar orang kampung senang. Namun alangkah kagetnya sang Ustadz karena di dalam rumah yang ia bakar terdapat sepasang kekasih yang menjadi korban. Ternyata mereka memadu kasih secara diam-diam karena berasal dari kampung yang bermusuhan tadi. Mengetahui hal tersebut Ustad Yulianto terjatuh dan tak sadarkan diri.

Jika ditelusuri secara lebih mendalam, dimensi spiritual dalam cerpen ini bukan terletak pada usaha menyala-menyala sang Ustad untuk memberantas maksiat atau kebenaran harus ditegakkan di muka bumi, melainkan Kuntowijoyo ingin menegaskan bahwa sebelum melakukan perbuatan (sepihak) kita haruslah bertanya pada dimensi terdalam diri, apakah benar yang akan saya lakukan ini? Coba simak petikan narasi ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun