Mohon tunggu...
Muhammad muhaimin Ramdani
Muhammad muhaimin Ramdani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Intinya Itu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tiongkok Raksasa Ekonomi Dunia Jadi Pemicu Adanya Perang Dagang

2 Januari 2023   15:43 Diperbarui: 2 Januari 2023   16:24 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam satu dekade terakhir, Tiongkok telah menjadi salah satu  negara dengan kekuatan ekonomi terbesar, oleh karena itu Tiongkok dianggap sebagai kekuatan besar di Asia bahkan dunia (shambaught, 2018). Setelah keberhasilan reformasi ekonomi yang dimulai pada era Deng Xiaoping, Tiongkok memasuki era baru yang dikenal dengan kebangkitan China (Rising of China).

Negara China telah dipandang sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Ekspansi ekonomi China disejumlah kawasan melalui agenda kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) menunjukkan bahwa negara itu mulai bergerak sebagai kekuatan baru (new emerging power) dan sekaligus menegaskan kebangkitan dalam kontestasi ekonomi politik global. Kebangkitan itusetidaknya dapat ditunjukkan dengan tiga faktor. Pertama, menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dengan nilai mencapai $US 14 triliun. 

Kedua, negara dengan GDP tertinggi (IMF, 2018). Ketiga, China merupakan eksportir terbesar dengan pencapaian hingga $US 2.26 miliar. Tingginya pendapatan China itu dinilai juga turut mendorong pergerakan ekonomi dunia (World Bank, 2018). (suharman,pramono, 2021)

The rise of China atau kebangkitan China merupakan istilah yang menjadi sorotan masyarakat internasional, Tiongkok berpotensi menjadi negara adidaya yang mampu menggantikan Amerika Serikat dalam bidang ekonomi, namun siapa sangka negara tersebut akan diperhitungkan. 

Tiongkok mampu menggulingkan posisi Amerika di pasar internasional mengungkap bahwa pada 40 tahun lalu bahwa China adalah negara miskin dan terisolasi dari masyarakat internasional. Partai Komunis China, di bawah mantan pemimpin revolusioner Deng Xiaoping, melakukan reformasi besar-besaran pada tahun 1978, dan salah satu keberhasilannya adalah mendorong petani untuk menjual produk pertanian mereka  di pasar terbuka. 

Pada tahun 1980, China membuktikan eksistensinya di dunia internasional dengan menjadi anggota International Monetary Fund (IMF), dan pada tahun 1986 menjadi General Agreement on Trade and Trade (GATT).

Tiongkok melihat dunia sebagai satu kesatuan yang utuh. Ungkapan yang selalu diyakini Tiongkok bahwa konsep negara mengarah pada konflik karena setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda. 

Menggunakan perspektif Tianxia, Tiongkok melihat dunia dari tingkat terbesar (top down), bukan dari tingkat negara bangsa. Konsep Tianxia menggambarkan kebangkitan China saat ini, China melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Salah satu cara Tiongkok untuk bangkit adalah inisiatif Belt and Road, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi  6,8% per tahun (2017), menjadikan China sebagai dunia baru sebuah kekuatan ekonomi, bahkan  ekonomi yang hampir sebesar negara adidaya Amerika. 

Dengan pergantian kepemimpinan, China benar-benar maju pesat di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, bahkan akselerasi kebijakan ekonomi dan moneter mereka jauh lebih kuat. Xi Jinping mengimplementasikan gagasan Deng dengan merancang geostrategi yang menguntungkan  negara-negara sekitar China, menghidupkan kembali Jalur Sutera Baru sebagai kekuatan ekonomi dan kerja sama dalam keharmonisan China, yaitu dengan menciptakan Belt and Road Initiative (yidai yilu).

Pertumbuhan ekonomi China yang pesat setelah  reformasi ekonomi yang dipimpin oleh pemimpin Deng Xiao Ping telah menjadikan China pemain dominan dalam  perdagangan internasional dalam beberapa dekade terakhir. Implementasi BRI atau Belt and Road Initiative sebagai proyek mega  ekonomi internasional yang menghasilkan 30% produk domestik bruto dunia menyebabkan pertumbuhan di China yang menggantikan kekuatan saat ini yaitu Amerika Serikat.

Pada tahun 2018, hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok tegang karena kebangkitan ekonomi Tiongkok. Pada 2018-2019,  pertumbuhan ekonomi China  dua kali lipat melebihi pertumbuhan ekonomi AS. Sebagai tanggapan, Presiden Donald Trump menggembar-gemborkan kebijakan proteksionis perdagangan kampanye 2016 "Make America Great Again" dan "America First," kebijakan ekonomi untuk memperketat perdagangan antar negara, seperti memberlakukan tarif impor. AS membatasi kuota barang  dari China.

Pada Maret 2018, Presiden Trump menandatangani perintah eksekutif yang menaikkan tarif  impor baja dan aluminium. Baja yang masuk ke Amerika Serikat dikenakan tarif 25 persen, sedangkan aluminium  dikenakan tarif 10 persen (BBC News, 2018). Ini adalah awal dari perang dagang antara AS dan China. Tindakan proteksionisme  Amerika  ini dilakukan untuk melindungi dan meningkatkan sektor ekonomi dalam negeri. Tindakan proteksionis menghidupkan kembali industri dalam negeri untuk meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat dan meningkatkan pendapatan pemerintah.

China menanggapi dengan memberlakukan tarif khusus baru yang mencakup lebih dari 70% impor dari Amerika Serikat. Hal-hal tersebut dilakukan  untuk menetralkan neraca perdagangan  satu sama lain. Dari sudut pandang Amerika Serikat, ini adalah hal  yang sangat tidak menguntungkan, sedangkan China melihatnya sebagai keuntungan, karena permintaan Amerika menawarkan peluang besar bagi perekonomian negara.

Selain itu, Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa dia telah memerintahkan Perwakilan Dagang AS untuk mengenakan bea masuk tambahan pada produk China. Pajak tambahannya adalah 100 miliar dolar AS (Setiawan, 2018). Tentu saja presiden China merasa sangat terganggu dengan kebijakan tersebut, karena pendapatan terbesar China berasal dari sektor ekspor-impor. Jadi China berencana mengenakan tarif 25 persen untuk impor daging babi  AS dan tarif 15 persen untuk produk pipa baja, buah, dan anggur.

Pada April 2018, Kementerian Perdagangan China menerbitkan daftar 128 produk atau produk AS yang mungkin dikenakan tarif, termasuk  kain, pipa baja, etanol termodifikasi, dan ginseng. (Kompas.com, 2018). Perang dagang ini  berlanjut hingga Desember 2018, di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, dimana perwakilan  Amerika Serikat dan China mengadakan makan malam bersama yang dihadiri oleh para kepala negara.

 Dalam pertemuan tersebut, kedua negara melakukan diskusi  positif dan konstruktif, dengan China dan Amerika Serikat menyetujui jeda perang dagang, termasuk  tidak menaikkan tarif yang sebelumnya direncanakan pada 1 Januari 2019 (Reuters, 10 April 2019). Kedua negara sepakat untuk menerapkan gencatan senjata dalam perang dagang dan menghapus tarif impor yang  ada. Namun, sepanjang jalan, ketegangan antar negara tumbuh dan menyebabkan peningkatan bea cukai. Dalam negosiasi perdagangan, negara-negara terus menarik perdamaian perdagangan untuk mencapai kesepakatan perdagangan.

 Kebijakan penetapan dan penaikan tarif dua negara  yang saling serang, atau yang disebut perang dagang, tidak lepas dari kepentingan  negara untuk mencapai kepentingan nasional, yaitu salah satunya adalah pembela keduanya. stabilitas neraca perdagangan negara antara kedua negara

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun