Kita semalam melewati batas cemas. Ketika desing suara peluru saling berjatuhan. Aku terduduk. Lunglai dalam bekap cekam yang sangat mengerikan. Di antara rumah gedung dan trotoar. Jalanan hambur pekikkan kalimah takbir.
Kita hanya digugah oleh keterlambatan. Oleh kedamaian, keramaian yang tersandera. Oleh kata demokrasi yang bukan lagi nyaris rubuh. Tapi sudah lantak. Tak ada kosakata itu.Â
Tersungkurku dalam geming. Teriakan teriakan berdesis menggugurkan senyap yang riuh. Peduli apa kepada kita yang hanya tinggal tulang belulang. Kita hanya menjadi segelintir debu. Termakan nafsu. Kita dirajai angkara.Â
Tak usah basa basi. Kita bagian dari tanah ini. Tanah kelahiran ini.Â
Kita sudah melewati batas cemas. Semenjak noda noda bertahta. Kau dan aku menyalami nasib luka yang sama. Kita menyuguhi irisan irisan bunga pagi. Anak anak yang damai. Para orang tua yang menumbuhkan harapan. Mereka yang hidup dalam jejak anak nagari. Tak mendapatkan hak bergembira di tanah sendiri.
Aku ingin mengadu. Tapi kepada siapa? Aku ingin pergi. Tapi harus pergi kemana? Aku ingin menangis. Apa yang harus ditangisi? Toh ini hanya sekedar drama kolosal. Kisah dengan cuplikan yang diperankan oleh orang orang yang hatinya rancu.Â
Kembali aku ingin berteriak. Kau tergagap. Kemudian menguap. Tapi untuk apa? Tak berarti lagi. Siapa yang akan mendengarkan?atau aku berlari saja? Atau... Atau aku mati saja. Kau nyilu yang gagu.
Kita. Kau dan aku. Adalah sandra sandra para pembidik berangkara.Â
Kita. Kau dan aku. Adalah kelinci kelinci yang imut. Sangat imut dan lucu.
22 Mei 2019