Mohon tunggu...
Cathaleya Soffa
Cathaleya Soffa Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga

Bersyukur dan jalani saja hidup ini. Man jadda wa jadaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hati (4)

12 Februari 2019   23:26 Diperbarui: 13 Februari 2019   12:24 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Minggu cerah." Mia bergumam lirih. Di lengkung bibirnya tercipta senyuman indah. Ia berjanji hari ini akan ke Gereja bersama Maria dan Natali. 

Matanya penuh binar. Memandangi lautan biru di angkasa. Biru untuk hatinya yang bersuka cita. Hujan deras semalam mengakhiri rasa cemas. Mia masih ingat itu. Ketika pintu jendelanya terbuka. Hanya dia dan milir angin yang saling tatap bertemu wajah. Bersama memandang lekat malam tanpa bintang dan rembulan. 

Berr.... !

Hujan turun sangat deras. Kilatan petir dan halilintar saling menyambar. Begitu saja. Tanpa pertanda apa-apa. Sampai di suatu menit yang manis, terdengar deru mobil di depan halaman rumahnya. 

"Mia... Mia....!"

Terdengar suara memanggilnya. Dari arah depan rumah. Dia melongokkan kepala di balik tirai jendela. Ditajamkan pendengarannya. Membuka lebar-lebar telinganya. Membuka kembali pintu jendela. 

"Mia... Mia... !"

Kembali suara itu memanggil-manggil nama Mia. Kali ini suaranya tenggelam. Terbawa arus hiruk pikuk ricik hujan yang semakin menderas. Riuh gelegar petir dan halilintar pun saling bersahutan. Memecah belah suara-suara teriakan tadi.

Sementara tubuh pria tersebut basah kuyub.

Mia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali ditatapnya tubuh samar itu. Dikucek matanya. Rintik hujan yang jatuh menghalangi penglihatannya.

"Mas Prabu?!" Pekiknya. Untuk apa dia malam-malam begini datang berkunjung ke rumahnya. Benak Mia penuh tanya.

"Mia... Mia.... hei... kemarilah..." Prabu melambaikan tangannya. Dia tahu Mia ada di balik jendela itu sedang memperhatikanya.

Tak lama.

"Mas...kau gila. Malam-malam begini ngapain ke sini. Hujan lagi..." Mia segera membuka pintu gerbang rumah. Membawakan payung untuk Prabu.

"Ternyata kedatanganmu lebih cepat dari perkiraanku. Kupikir kau masih berdiri dibalik jendela."

"Ya ga lah. Ayo buruan masuk. Nih aku bawain handuk."

"Kau perhatian juga ha..." 

"Ini darurat. Kalo ga mau yaudah. Sini, handuknya....!" Mia berusaha merebut kembali handuk di tangan Prabu.

"Eits."

"Sini..."

"Ayo ambil..." Prabu menantang Mia.

"Jangan ngeledek ya?! Sini."

"Kelinci sedang marah." Kedua jari tengah dan telunjuk disejajarkannya di sebelah kepalanya. Wajahnya berubah jelek.

"Eh... " Mia benar-benar dibuatnya kesal.

Prabu menghindar dari kejaran tangan Mia. Tetesan hujan menerpa keduanya. Handuk yang dipegang Prabu terjatuh. 

Lalu...

Lalu payung yang melindungi mereka sudah pergi entah kemana.

Mia baru menyadari bahwa tubuhnya basah. Begitupun Prabu.

Segera ia setengah berlari menuju teras. Namun tertahan oleh tarikan tangan Prabu. Mia terdesak. Hatinya tetiba jatuh. Ada yang utuh. Tapi apa? 

Prabu perlahan berlutut di hadapan Mia. Dengan membawa sekuntum bunga rumput yang ia cabut dari pekarangan rumahnya.

"Maaf. Aku tak bisa memberikanmu bunga yang indah dan harum seperti mawar, melati, tulip atau apalah itu. Hanya ini yang bisa kupetik. Dari rumput liar dekat rumahku."

"Maukah kau menikah denganku, sekali lagi aku memohon kepadamu. Maaf toko tutup." Dia tersenyum, "Jadi aku ambil ini. Bunganya kecil-kecil."

Mia kikuk. Apa yang harus dia katakan. Tentang kekosongan hatinya. Tentang hampa yang diresahkan. Apa ini semua tentangnya? 

"Mas, kita masuk yuk."

"Sebelum kau jawab aku pantang untuk berteduh."

"Karena ini hujan, jangan konyol."

"Aku serius. Tolong beri aku kesempatan."

"Nanti kau sakit."

"Biarpun mati juga aku rela."

"Gombal.... kemarin dikejar anjing kenapa Mas Prabu yang lari. Aku malah ditinggalin."

"Itu beda... karena kau bagai hyna. Kecil tapi pemberani juga buas. Jadi kutinggal saja."

"What...?!"

Plak. Plak. Plak. Jedug!

#

Tak ada kata romantis pada akhirnya. Karena pukulan telak mengarah ke dadanya. Bahunya. 

Malampun terseyok. Dikekalkan oleh air tumpah dari langit. Tergelincir lamat-lamat oleh derai waktu dan cerobong perjalanan orbit yang tak bisa dipenggal. 

Fajar mulai rekah. Malam tersisihkan. Sedangkan langit tetap cerah. 

Sinar mentari begitu menawan. Terasa hangat di badan . 

Berkas sinar masuk lewat jendela. 

Sudah pukul delapan pagi. 

**

Next

Ciputat, 12 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun