Bahkan ketika kita dijatuhi hujan. Rinai rinai membumikan tubuh kita yang kuyu dan kuyup. Awan rindang dengan segenap luruhan genangannya. Menjerembab sebagian pandangan. Di situ hanya sosokmu yang selalu rimbun. Meneduhkan segenap retina. Memulihkannya kepada hujan yang begitu sempurna.
Sementara itu di pagi yang mewaru. Kutuliskan beberapa patah kata. Tak ada yang istimewa selain cintamu. Terpasak lebih mudah ke dalam ruhku. Sampai kumeringkuk lebih lama dalam kotak. Ruang bercahaya cinta putihmu.
Lautan menghampar. Biru karena ditampias oleh pias langit langit. Membekuk segala alasan. Mengapa rasa biru diantara kita bagai batuan sembrani? Saling menarik satu sama lainnya tanpa aba aba. Radar seperti apakah yang kau tancapkan di setiap pori porimu? Memiliki sinyal sangat kuat untuk sepotong hati yang mewaru.Â
Lantas langit pun berubah warna. Secercah pagi. Dan lebih cerah dari jangkauan pelupukku. Adakah selain dirimu? Sesekali jatuh ke dalam dadaku. Tak henti hentinya jatuh di kedalaman jantungku. Berulang kali jatuh menimpa hati. Rasa yang sulit untuk bisa dihempas. Dengan degub yang masih sama. Sinyal pemindai cinta antara kau dan aku.Â
Demikianlah kupersembahkan. Segala masa. Segala zaman sudah meruah dalam catatan. Tak akan mengubahnya walau tinta mendengus. Mengubahnya menjadi jelaga. Karena alasan terbaiknya ada pada ketulusan. Merelakanmu untuk kuterjemahkan. Dalam pemahaman yang paling pelik sekalipun. Begitu juga dirimu. Kita disatukan.
Karena itu kita memiliki radar. Memiliki sayap sayap utuh untuk diterbangkan kembali. Aku makin cinta.
Ciputat, 12 Oktober 2018