Mohon tunggu...
Mimpin Sembiring
Mimpin Sembiring Mohon Tunggu... Dosen Psikologi pada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

Suka belajar dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Remaja - Gen Z Nggak Seribet itu, Lho! Begini Psikologi Perkembangan Menjelaskannya

17 Mei 2025   08:28 Diperbarui: 21 Mei 2025   09:29 1780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun bagi banyak orang dewasa, realitas ini menimbulkan keprihatinan. Di ruang kelas, guru sering mengeluhkan murid yang tampak mudah lelah, kurang antusias, atau tidak mampu fokus lebih dari beberapa menit. Di rumah, orang tua bertanya-tanya mengapa anak mereka lebih senang menyendiri di kamar dengan earphone menyala, atau mengapa mereka menghindari pembicaraan mendalam. Di gereja atau komunitas, pembina remaja mengaku kesulitan membangun komitmen atau minat dalam kegiatan pelayanan. Banyak dari kita juga menyaksikan perdebatan terbuka di media sosial, di mana remaja menyuarakan opini tentang politik, agama, dan identitas pribadi dengan keberanian yang kadang mengejutkan---dan memicu kontroversi.

Di tengah semua itu, muncul juga fenomena baru yang tak mungkin diabaikan: meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental. Gen Z tidak sungkan berkata bahwa mereka sedang burnout, cemas, atau merasa tidak baik-baik saja. Mereka mulai mengenal istilah-istilah seperti self-diagnosis, inner child, overthinking, bahkan trauma keluarga---dan membicarakannya secara publik. Ini membingungkan sebagian orang dewasa, yang dibesarkan dalam budaya "tahan banting" dan jarang diberi ruang untuk menamai perasaan. Tapi di sisi lain, kesadaran ini justru bisa jadi pintu masuk untuk menjalin komunikasi yang lebih empatik antar generasi.

Sementara itu, media populer juga ikut membentuk narasi Gen Z. Tayangan seperti Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, Dear Nathan, atau bahkan lagu-lagu galau dari penyanyi seangkatan mereka menjadi ruang pencerminan batin yang dalam. Di sana mereka menemukan representasi---bahwa keresahan mereka bukan hal aneh, dan bahwa emosi yang sulit pun sah untuk dirasakan. Ini membuat Gen Z tidak hanya menjadi konsumen media, tapi juga produsennya: mereka menciptakan konten, mengelola personal daring, dan membentuk komunitas virtual di mana mereka merasa diterima. Di sinilah dunia mereka berkembang: tidak hanya di bangku sekolah atau meja makan keluarga, tapi juga di kolom komentar dan forum diskusi digital.

Maka tak heran jika orang dewasa kadang merasa "ditinggal." Tapi justru karena itu, memahami mereka menjadi semakin penting. Fenomena-fenomena yang tampak mencemaskan itu---dari layar gawai yang tak pernah lepas, percakapan soal mental health, hingga sikap kritis terhadap otoritas---semua berakar dari dinamika perkembangan yang khas. Gen Z bukan generasi rusak. Mereka hanya sedang bertumbuh dalam dunia yang jauh lebih kompleks. Dan untuk memahami mereka, kita butuh pendekatan yang tidak hanya bijak, tapi juga kontekstual.

Remaja Gen Z Itu Anak Zaman. Sayangnya, Zaman Ini Tidak Selalu Ramah ke Mereka

Gen Z memang anak zaman. Mereka lahir dan besar di era teknologi canggih, informasi cepat, dan konektivitas tanpa batas. Tapi justru di situlah tantangannya: zaman ini sering kali lebih banyak menuntut daripada memberi ruang tumbuh yang aman bagi mereka.

Ambil contoh tekanan media sosial. Kita bisa lihat betapa kuatnya budaya pembandingan di antara remaja hari ini. Dari unggahan "daily outfit", gaya hidup mewah, sampai pencapaian akademik---semuanya bisa jadi sumber stres. Tak sedikit yang merasa gagal hanya karena tidak punya iPhone terbaru atau tidak pernah liburan ke Bali. Ini bukan sekadar iri hati, melainkan luka sosial yang nyata. Kasus bullying digital di kalangan remaja meningkat, bahkan ada yang berujung pada depresi berat dan bunuh diri---seperti yang terjadi pada beberapa pelajar di kota-kota besar Indonesia, yang sempat jadi sorotan media.

Di sisi lain, muncul fenomena "anak muda harus cepat sukses". Dari usia belasan, mereka sudah dicekoki narasi tentang entrepreneur muda, content creator jutaan views, hingga pelajar Indonesia tembus Harvard. Padahal, tidak semua remaja punya akses, modal, atau support system yang setara. Akibatnya, banyak yang merasa rendah diri meski sudah berjuang sekuat tenaga. Dunia ini mengagungkan hasil, tapi sering kali lupa bahwa setiap orang punya jalan dan waktunya sendiri.

Remaja Gen Z juga tidak lepas dari stigma. Ketika mereka kritis terhadap isu sosial, mereka dianggap kurang ajar. Saat mereka terbuka soal kesehatan mental, mereka dianggap "baper". Ketika vokal tentang lingkungan, dituduh terlalu idealis. Kasus seperti Jerome Polin yang pernah dibully karena terlalu pintar, atau remaja yang diserang netizen karena pendapatnya di TikTok, menjadi bukti bahwa ruang publik digital belum tentu aman bagi anak muda yang berpikir berbeda.

Tak berhenti di sana, remaja perempuan masih harus menghadapi pelecehan di ruang publik dan digital, sementara remaja laki-laki ditekan oleh maskulinitas sempit. Banyak dari mereka tumbuh dalam masyarakat yang masih tabu bicara soal emosi, padahal mereka sedang bergulat dengan perasaan yang rumit setiap hari.

Singkatnya, zaman ini tidak selalu memberi ruang aman bagi Gen Z. Mereka dipuji karena modern dan adaptif, tapi juga dihujat ketika tak sesuai harapan. Mereka dituntut untuk cepat, pintar, kuat, dan sukses---padahal kadang yang mereka butuhkan hanyalah dimengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun