Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persekusi

1 Juni 2017   22:47 Diperbarui: 5 Juni 2017   01:15 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Markudut kaget setengah mati. Jantungnya bergedup kencang. tak beraturan. Bagaimana tidak? Saat pagi, saat dimana matahari mulai memberi cahaya kepada penghuni bumi, menjadi waktu tersendiri bagi Markudut untuk membuka akun media sosialnya. Setiap matanya terbuka usai terlelap dalam mimpi dan melihat cahaya dunia yang indah dan penuh dengan kedamaian, dirinya langsung membuka medsosnya. Dan itu menjadi tradisi paginya. Pagi ini begitu banyak yang memention akunnya. Sangat banyak sekali. Dan anehnya, semua akun yang memention di akun twitternya @Markudut86 mencacinya. memakainya dengan bahasa yang sangat kasar bahkan sadis. Bahkan ada yang mengancamnya. Kurang puas dengan twitter, lelaki muda itu membuka akun facebooknya. siapa tahu ada info baru dari sahabat dunia mayanya. terutama info dari sahabat dunia mayanya yang tinggal di Kampung halaman. tentang keadaan orang tua dan Kampung halamannya.

Lagi-lagi lelaki muda bergelar sarjana itu kaget setengah mati. Bahkan jantungnya mau copot dari katupnya. Semua balasan di akun facebooknya menerima hal yang senada dengan akun twitternya. Ada yang mengancam. Ada yang mengintimidasi walaupun hanya secara verbal.

lelaki muda itu membuka akun instagramnya. Siapa tahu beda. Lagi-lagi lelaki muda kaget. bahkan terasa putus asa. Semua mention ke akun instagramnya menerima mention hal yang senada dengan akun twitter dan facebooknya. " Apa salahku," pikir lelaki muda itu. " Toh apa yang kutulis dalam medsos tak ada yang mengganggu kaum tertentu? Apalagi menyinggung perasaan umat," desisnya dalam hati. " Bukankah berbeda pandangan dalam melihat masalah bangsa tak diharamkan? Kita kan negara demokrasi," desisnya dalam hati dengan penuh rasa keanehan yang menjalari sekujur tubuhnya..

Markudut makin kaget, saat membuka jendela rumahnya. Dihalaman rumahnya banyak orang berkumpul. Mareka berkerumun. Wajah mareka amat garang. Markudut keder. Bagaimana mungkin dia mampu melawan orang seramai itu, walaupun sebelum ke Kota, dia sempat belajar ilmu silat di kampung. Belum hilang rasa takut Markudut, telpon di smartphonenya berbunyi. Dengan rasa kewaspadaan yang amat  tinggi, mengingat nomor yang masuk ke smartphone nomor tak dikenal, akhirnya Markudut menerima telpon itu. Dan diseberang, terdengar seseorang berbicara dengan nada emosional bahkan mengancam.

" Saya ingatkan dengan saudara. kami akan memburumu hingga kemana pun. Bahkan ke liang kubur sekalipun," ujar nada dari seberang lewat smartphonenya.

" Apa salah saya,' tanya Markudut dengan nada membernaikan diri.

" Baca status yang kamu unggah di medosmu. Kamu telah menghina pemimpin kami," jawab suara itu sembari menutup telponnya. Markudut tergagap. Kepalanya terasa sakit bahkan sangat sakit sekali yang belum pernah dia rasakan selama ini.

Markudut kembali dikagetkan saat tiba di kantornya. Ramai sekali orang dihalaman kantornya. " Apakah kantor mengadakan bazar murah? Ataukah kantor mengadakan pemberian zakat untuk kaum dhuafa? Tapi tak ada pemberitahuan dari pimpinan," desisnya dalam hati. Wajah mareka menampakkan permusuhan yang luarbiasa. Wajah- wajah kelompok massa itu memuncratkan rasa kebencian yang teramat dalam.

Markudut makin kaget setengah mati ketika dia masuk ke kantornya, sekelompok orang yang berkerumun tersebut berteriak menyebut namanya. " Itu orangnya. itu orangnya," teriak mareka secara serentak. Suara mareka menghingarbingarkan pagi yang indah. Hanya dengan kesigapan para satpam Kantornya yang sudah terlatih, dia bisa terhindar sementara dari amukan massa yang amat beringas dan tanpa kontrol diri itu.

Markudut makin tak mengerti. Sungguh tak mengerti dengan proses yang terjadi terhadapnya. Sejuta tanya tentang apa salahnya terus menggelayut dalam pikirannya seharian itu.  Saat naik angkot, semua mata memandang dengan sikap permusuhan. Tak ada senyum di wajah mareka yang selama ini dilihatnya selama puluhan tahun di Kota ini. Tak ada  lagi saling sapa. Semua wajah menampakkan wajah-wajah saling bermusuhan.

Tak ada lagi wajah-wajah bersahabat yang diterimanya saat pertama kali menginjakkan kakinya di Kota ini. Tak ada lagi keramahan jiwa dari para warga yang dulu menjadi ikatan hidup mareka sesama warga Kota yang sepenanggung senasib. Tak ada lagi. Hilang bersama angin . Terbang entah kemana. Tak tahu rimbanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun