Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Atokku, Lelaki Hebat Sekali

25 September 2021   22:24 Diperbarui: 26 September 2021   08:41 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen : Atokku, lelaki Hebat Sekali

Atok. Demikianlah kami sebagai cucu memanggil Ayah kandung Ibu. Sehari-hari pekerjaannya cuma membuat gula aren. Usai sholat subuh di masjid, dengan mengendarai sepeda ontanya, Atok memulai aktivas paginya ke kebun untuk mengambil buah aren dari pohonnya. Atok biasanya, tiba di rumah sebelum azan  Zohor berkumandang dari corong pengeras suara masjid. Dan usai menunaikan sholat zohor berjemaah di masjid, Atok kembali pergi untuk menaiki pohon aren. Biasanya sebelum magrib, Atok sudah tiba di rumah.

Aku sebagai cucunya sangat bahagia, kalau saat liburan diajak Ibu ke rumah Atok. Sangat bahagia sekali. Atok selalu memanjakan kami dengan membeli sesuatu yang kami minta. Tak ada yang tak dipenuhi Atok, apa yang kami minta. Mulai dari es hingga makanan kecil khas anak kecil lainnya.

Saat aku bersekolah SMA, aku tinggal jauh dari orang tua. Aku kost. Tempat kost ku, kebetulan tidak jauh dari rumah Atok. Biasanya setiap sabtu sore aku sudah meluncur ke rumah Atok. Dan pulangnya senin pagi. 

Dan usai Atok sholat Isya di masjid, di teras rumahnya yang halamannya penuh dengan buah dukuh, ditemani cahaya rembulan yang bening, Atok bercerita tentang masa mudanya sambil memainkan alat musik gitar ukulelenya. Dia dengan gembira melantunkan lagu-lagu lama sangat asing ditelingaku. Berhubung nada dan harmoninya terasa sangat melankolis, aku pun lama-lama amat menikmatinya.

" Ini lagu Belanda," ujar Atok sembari bernyanyi.

 Aku terdiam.

" Hebat benar Atok. Bisa menyanyikan lagu Belanda," batinku bergumam. 

Atok terus mendendangkan lagunya hingga aku kadang tertidur di kursi tamu rumahnya.

Sabtu sore itu, aku kembali menginap di rumah Atok. Aku kembali malas untuk pulang ke rumah orang tua ku yang jaraknya sekitar 120 Km dri tempatku mengeyam pendidikan di sekolah Menangah Atas. Maklum saat itu untuk menempuh jarak 120 Km harus ditempuh dengan waktu sekitar 3 hingga 4 jam. Maklum jalanan ke Kampung ku saat itu masih belum sebagus sekarang. Aspalnya cuma setengah. Sisanya penuh dengan lubang dan tanah merah. Debunya minta ampun.

Malam itu Atok tampak bahagia. Terlihat dari wajahnya yang cerah. Sebatang rokok dia sulutkan. Asapnya menghambur tinggi ke langit Seolah ingin mengejar bintang. Aku melihat ada sebuah isapan yang amat nikmat, saat Atok menghisap rokoknya. Sementara di hadapannya segelas kopi yang dibuatkan nenek menambah lengkap nutrisi Atok.

" Ibumu dulu kembang kampung," ujar Atok membuka cerita. 

Aku terdiam. Sangat percaya dengan omongan Atok. Ibu memang memiliki paras wajah yang cantik dengan berbalut kulit yang putih bak bintang sinetron.
" Sayang, ibumu keburu menikah dengan ayahmu," lanjutnya dengan nada pelan. Seolah tersirat sebuah penyesalan.
" Memang usia Ibu waktu menikah dengan ayah masih muda Tok?," tanyaku.
" Sekitar delapan belas tahunlah," jawab Atok.
" Lho itu kan usia yang sudah lumayan matang, Tok," sahutku.
" Iya," jawab Atok ringan.
" Lalu?," tanyaku kembali.
" Karena Atok tak mampu menyekolahkannya, maka Ibumu menerima lamaran Ayahmu. Atok merasa bersalah," ujarnya lirih. Kulihat ada segurat kesedihan di wajah Atok. Seolah ada perasaan bersalah.

Berdasarkan cerita Ibu, Atok saat masih bujangan tergolong lelaki yang menjadi idaman kaum hawa. Maklum wajah Ttok sangat flamboyan. Postur tubuhnya tinggi. Walaupun cuma tamatan Sekolah dasar, namun Atok tak minder. Demikian juga dengan pekerjaannya sebagai pembuat gula aren tak membuatnya malu. Menurut Atok semua pekerjaan kalau dilakoni dengan sungguh akan berhasil.
" Jangan memilih pekerjaan. Yang penting halal. Dan tidak ada pekerjaan yang hina selama dilakoni dengan ikhlas," ujar Atok kepadaku.

Tingginya kepedeaan dirinya sebagai lelaki muda saat itu, membuat Atok mampu menaklukan hati nenek yang masih keturunan warga Tionghoa. Padahal keluarga nenek banyak tak setuju Nenek menikah dengan Atok. Maklum keluarga nenek tergolong mampu. Punya toko besar di Pasar kecamatan. Tapi, pandangan pertama mareka saat bertemu di sebuah toko saat Atok menjual gula arennya membuat Nenek akhirnya bersedia dinikahi Atok.
" Atokmu orangnya hebat,' cerita nenek.
" Hebat gimana Nek?," tanyaku penuh dengan kebingungan.
" Dia mampu memberi nilai hidup dan kehidupan kepada keluarga. Dia mampu menjadi imam bagi keluarganya, walaupun pekerjaannya cuma membuat gula aren. Atokmu pekerja keras dan sangat religius. Itu yang membuat nenek bersedia menikah dengan Atokmu," lanjut nenek dengan muka sumringah.

Jujur, aku tak mengerti sama sekali dengan penjelasan Nenek. Tak mengerti sama sekali. Bagaimana Nenek bilang Atok hebat kalau harta yang dimilikinya cuma sepeda unta dan sebuah gitar saja yang nilainya era itu tak seberapa kalau dijual.

Saat Atok wafat, kami para cucunya sangat bersedih. Kami kehilangan seorang kakek yang selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya dengan kerja kerasnya tanpa harus mengeluh. Atok telah mengajarkan kami bahwa hidup harus dihadapi dengan perjuangan dan bukan dari belas kasihan orang.
" Kita harus punya harga diri walaupun kita hidup sederhana," nasehat Atok kepadaku.
" Dan sebagai lelaki jangan sekali-kali kamu menghidupi anak dan istrimu dengan uang tak halal," lanjut Atok.

Kini setiap ke rumah nenek, aku masih melihat foto Atok saat masih muda. Ganteng sekali bak bintang film laga tempo dulu. Sepeda untanya masih terparkir dalam gudang belakang rumahnya. 

Demikian pula dengan gitar kecil Ukulele yang selalu dimainkannya usai kerja siang hari masih tergantung artistik di ruang tamu rumah nenek.

Toboali, sabtu malam, 25 September 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun