Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(RTC) Lelaki di Kaki Bukit

17 Januari 2019   00:57 Diperbarui: 28 Januari 2019   00:33 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, sekelompok camar menari-nari diatas langit. Tariannya eksotis. Sarat kegembiraan.  Tanda senja mulai menyapa bumi. Matahari pun mulai menenggelamkan diri. Seiring terbangunnya rembulan dari mimpi panjangnya. Lelaki setengah baya itu masih belum ingin beranjak dari duduknya. 

Mata liarnya seolah belum puas memandang areal yang dipenuhi puing-puing reruntuhan. Matanya seolah belum puas menyaksikan apa yang dilihatnya. Sebuah areal yang sangat luas terbentang. Sangat luas.  Matanya seolah tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Sangat tak percaya sama sekali.

Matanya seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Sebuah bentangan tanah yang sangat luas.  Di bentangan tanah yang luas itu matanya hanya melihat sebuah bangunan yang tersisa. Sebuah Masjid yang tak pernah menerima uluran tangannya. Tak ada bangunan lain.  Mata lelaki itu seolah-olah belum puas dengan apa yang dilihatnya. Belum puas, ketika sebuah tepukan dipundaknya menyadarkan dirinya.

" Sudah magrib. Ayo ke masjid," sapa seorang lelaki tua bernada ajakan.

Lelaki setengah baya yang biasa dipanggil Pakbos oleh warga Kampung mengikuti langkah Pak Tua itu yang menuntunnya menuju Masjid.

###

Malam itu langit penuh bintang. Cahaya rembulan menerangi alam raya. Jagad raya bertaburan bintang dan siraman cahaya yang terang benderang. Pakbos memandang langit dari halaman barak yang dihuninya kini. Berbaur bersama warga Kampung dalam kelaraan. Tak  terdengar lagi lagu Huma Diatas Bukit  dari band cadas God Bless yang biasa dinikmatinya di halaman belakang rumahnya yang sangat luas sembari menikmati kopi dan kue bersama rekan-rekan bisnisnya. Tak ada lagi. Dihalaman barak, beberapa anak-anak kecil berlarian. Mereka seolah tak peduli dengan kegundahan hati Pakbos. Mereka berkejaran. Berlarian dengan riang gembira. Cahaya rembulan ikut menerangi jejak kaki-kaki bocah yang berlarian dengan keriangannya.

Airmata Pakbos menetes dari kelopak matanya. Membasahi tanah yang masih berbalut kedukaan. Ada sebuah penyesalan yang tak terperi dalam jiwanya. Dadanya bergemuruh. Disesaki rasa penyesalan berbalut dosa. Berkecamuk dalam nada harmoni penyesalan.

" Seandainya. Seandainya...," bisik Pakbos dengan suara lirih. Penyesalan lelaki itu dirasakan pula bintang dilangit. Cahaya rembulan di langit tiba-tiba meredup. Malam pekat. Sepekat jiwa Pakbos yang dibaluti rasa bersalah yang tak terperikan. Sebuah penyesalan yang datang terlambat. 

###

Sebagai pengusaha ternama, Pakbos sudah lama mengintai rimba belantara yang dipenuhi pohon-pohon besar  dikawasan Bukit dekat Kampung Mereka. Bagi Pakbos isi yang ada dalam rimba di Bukit kampung itu mengandung sejuta dollar dan harta karun yang mampu menghidupi keturunannnya selama hayat masih dikandung badan. Setidaknya pohon-pohon besar yang menghuni  rimba itu mampu mengalirkan uang untuk menambah pundi-pundi keuangannya semakin gendut. Pohon-pohon penghuni rimba itu bisa dikonversi dalam bentuk uang yang bernilai besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun