Andalas berhenti sejenak untuk mengawasi lorong di belakang mereka. Tidak ada tanda pergerakan. Masih aman. Pesawat jumbo ini juga sedang sedikit terguncang terkena turbulensi ringan.
"6 orang di kabin belakang tidak dalam 1 kubu. Sepertinya masing-masing mengutus 2 orang untuk sekedar memata-matai atau bahkan punya niat membunuh."
Akiko memandang Andalas penuh selidik,"3 pihak? Siapa saja?"
"Aku hanya sekedar menduga. DGSE, GRU, dan yang satu lagi aku tidak yakin. Bisa jadi kawan dari yang tewas ini atau agensi lain dari kawasan Asia."
"Asia? China, Jepang? Kau yakin? Atas dasar apa?" Kembali Akiko memberondong dengan pertanyaan. Diam-diam wanita ini kagum pada mata awas Andalas. Untung aku tadi tidak jadi menusuk matanya.
"Sepertinya China atau Korea atau bahkan Jepang. Aku kesulitan membedakan mereka,"Andalas mengangguk lalu berjalan pergi. Ke belakang lagi.
Akiko dan Cecilia saling pandang. Kekacauan ini semakin rumit saja. Seorang pramugari datang dan menawari mereka minuman. Cecilia meraih wine dan menenggaknya sekaligus. Akiko menggelengkan kepala. Dia malah menudingkan telunjuknya ke kompartemen ujung dan berbicara dengan pramugari.
"Tolong jangan diganggu penumpang yang sedang tidur itu. Dia tadi menitipkan pesan kepadaku bahwa dia sedang tidak enak badan. Aku seorang dokter dan aku sudah memeriksanya. Dia sepertinya mengidap suatu penyakit menular. Beritahu temanmu yang lain ya? Aku sudah menghubungi pihak karantina di Doha untuk menjemputnya turun nanti saat kita transit di sana."
Pramugari itu menunjukkan raut muka terkejut. Lalu mengangguk paham.
Andalas sudah kembali.
"Aku akan pindah duduk di belakang kalian,"ujarnya pendek sambil memberi isyarat bahwa mungkin akan ada pergerakan dari belakang.
Cecilia mengangguk. Kejadian di pesawat ini selain membuatnya shock karena kembali mereka menjumpai kematian, tapi juga sekaligus membuatnya luar biasa senang. Ada penyintas selain Fabumi.