Saat terpenting hari ini, adalah ketika bumi mulai kejatuhan, remah-remah matahari. Pada rona pipi sandyakala, yang mulai diformulasi, oleh letih, sunyi, dan hanya separuh tatap mata.
Letih itu dibawa oleh badan-badan ringkih. Dari semenjak menginjak tangga kereta. Hingga menyudahi tetes keringat terakhir di angkutan kota.
Sunyi yang ada. Adalah kerumunan kata-kata yang kehilangan tanda baca, vokal tanpa bunyi, juga konsonan tanpa suara. Dirangkai menjadi halaman demi halaman buku, berkisah tentang cemara dan kamboja. Namun selalu lupa menyebut tanah-tanah yang menjadi ibundanya.
Separuh tatap mata terbuka. Tidak mau melihat apa-apa. Separuhnya lagi terpejam. Menyaksikan semburat malam, dalam siluet lamunan.
Formula sandyakala yang sesungguhnya sebetulnya sederhana. Yaitu dengan membiarkan siapa saja saling bersirobok mata daripada saling berpaling muka, mempersilahkan apa saja tumbuh di tempat yang selayaknya daripada kelak mencari-cari di ensiklopedia, dan menandai almanak kapan saja ia akan memulakan purnama dibanding harus tawar menawar kebaikan menggunakan sempoa.
Itu saja.
Bogor, 21 Februari 2020 Â Â