Dari air liur yang masih mentah dan belum mengeluarkan getah, jaring laba-laba menutupi atap istana, menghalangi cahaya matahari, menolak hujan, menjauhkannya dengan memanggil puluhan pawang yang bahkan tak sanggup mencuci celana dalamnya sendiri.
Istana dilanda kegelapan yang lebih dari malam saat dinihari. Para penjaga menyalakan lampu-lampu yang hanya sanggup menerangi pojok-pojok tersembunyi. Sementara ruang aula dan meja-meja sidang lebih beku dari siberia yang sedang dilanda badai salju. Pilu.
Halaman istana yang biasa ditumbuhi rerumputan dan bunga secara senang hati, kini ditanami wajah-wajah para pembesar yang berkoar-koar menyampaikan kabar. Tentang rakyat yang terlalu bodoh untuk mengerti, bahwa patuh dan tunduk terhadap negeri itu harus dengan cara menjilat pantat amanat. Tanpa perlu banyak tanya. Apalagi berkeliaran di pagi buta mencari-cari suaka.
Sang Saka yang biasa berkibar menantang kemegahan langit. Kini menjadi anak dara yang sedang dipingit. Oleh raja dan para panglima yang memandangi televisi. Sembari menghabiskan sisa-sisa kuaci.
Indonesiaku menciut seperti lumut. Dikeriputkan oleh tajamnya aura kabut. Dari asap cerutu para wakil yang bertindak batil. Menulis traktat keparat yang menyalakan api di mana-mana. Membakar cinta yang sedari dahulu kala adalah tulang sungsum Indonesia.
Tuhan, tolonglah kami semua....
Balikpapan, 27 September 2019