Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Logika dan Genetika Cinta

13 September 2019   15:47 Diperbarui: 13 September 2019   16:01 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: lecturio.com

Logika kita seringkali patah setelah melihat kenyataan yang tumpah di meja makan. Aneka cemilan dan berkaleng-kaleng minuman bergelimpangan saat sarapan. Sementara sudut penglihatan kita masih disibukkan mengunyah berita-berita yang tersengat lebah; undang-undang yang dijenayah serta para demonstran yang rela disengat matahari yang dipenuhi amarah.

Di dunia sekecil ini, berita-berita tentang kekacauan selalu berada di tajuk halaman depan. Berita baik diumumkan belakangan. Entah mengapa. Setidaknya itulah yang dianggap norma. Bisa saja oleh media. Namun kebanyakan tentu dari keliaran linimasa.

Realita sederhana juga seringkali dianiaya oleh rumitnya rencana. Angin, adalah udara yang bergerak landai. Namun demi sebuah rencana gila menaklukkan cuaca, kita malah mengundang kedatangan badai.

Tanah, disusun dari banyak remah-remah dengan struktur lemah dan tekstur basah. Tapi demi menggapai permata yang mewah, kita melubangi perut bumi tanpa basa-basi, menjarah tanpa sedikitpun niat berziarah. Dan ketika lumpur dan metana mengaduk hidup dan nyawa dalam bejana, barulah kita paham apa itu bertenggang rasa.

Air, yang mengalir di sungai-sungai kecil, raksasa, maupun maha samudera, adalah rekanan yang rendah hati. Tapi kita meludahinya dengan berton-ton sampah berikut sumpah serapah. Begitu halaman dan rumah dihanyutkan air bah, barulah kita sampaikan beribu ampun. Berjanji untuk berbuat lebih santun.

Cahaya, menyusup di sela-sela anyaman bambu. Membangunkan muka-muka kuyu agar segera bertemu dengan ritual wudu. Setelahnya kembali kita menimbun kerak menyakitkan dengan menyirami langit menggunakan berbagai macam residu logam. Biru yang biasa bermanikam, menjadi kelabu mencekam. Mengirimkan sinyal kepada matahari untuk segera mengirimkan api. Menghanguskan muka bumi.

Akhirnya kita mengecam logika dan menggantinya dengan cara berpikir algoritma. Berharap semua kembali seperti semula.

Tapi ini semua bukan sekedar matematika. Logika yang patah hanya bisa disambung kembali dengan memperbaiki genetika cinta.

Jakarta, 13 September 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun