Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perjalanan Seribu Bintang

13 Juni 2019   16:40 Diperbarui: 13 Juni 2019   16:46 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya berhutang tahun-tahun yang hilang kepada seorang perempuan yang selalu menyimpan baik-baik almanak di hatinya yang rimbun oleh kelelahan. Almanak yang dilingkarinya satu demi satu pada angka-angka yang menurutnya saya akan datang kepadanya dan mengajaknya lagi bercanda di beranda tua yang dipenuhi buku-buku usang yang tak sempat dijahit zaman.

Saya lalu menyerahkan sebuah buku yang saya anyam dari buah pikir saya akan sebuah kemasgulan. Mengenai perjalanan seribu bintang yang salah satunya jatuh di puncak kegelapan agar orang-orang bisa menyampaikan sebuah permintaan. Perempuan itu entah mengapa tidak menyampaikan permintaan agar saya segera berbicara apa adanya, tanpa gaya bahasa, atau malah membungkusnya dalam tata cara menyuling cuka.

Mungkin perempuan itu ragu-ragu. Melihat saya yang seringkali mengunyah batu sehingga kepala saya ikut membatu.
----
Saya berhutang kepada seorang perempuan yang kepadanya pernah saya bacakan sajak-sajak tentang perpisahan yang pasti terjadi karena adanya sebuah pertemuan. Tapi tak satupun saya pernah membacakannya puisi-puisi tentang pertemuan yang tak bisa terpisahkan.

Bahkan oleh waktu. Instrumen rindu yang makin lama tentu membuat hati beku. Seperti ibu ketika menjaga rupa ikan tetap sama seperti sebulan sebelumnya. Supaya bisa dimasak keesokan harinya. Dengan pujian kelezatan yang tak jauh berbeda.

Barangkali saya tergolong lelaki yang rajin mengasah belati untuk menganiaya sepi. Aneh sekali. Padahal saya sangat menyukai keramaian yang diam, kegaduhan yang tenggelam, dan hiruk pikuk di dalam alat peredam.
----
Saya berhutang banyak kepada perempuan yang katanya selalu mengingat saya dalam tidurnya yang tidak nyenyak. Saya jadi terhenyak. Ini bukan main-main namanya. Saya harus membayar hutang saya kepadanya.

Dengan cara-cara yang mungkin tidak diduganya tapi saya yakin perempuan itu akan menyukainya.

Saya akan bertamu di bawah jendela rumahnya. Membacakan sajak-sajak tua tentang perjalanan seribu bintang dan salah satunya akan jatuh di pangkuan. Tanpa satupun bisikan akan permintaan.

Jakarta, 13 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun